Maktabah Online Abu Namira
( Tegakkan Tauhid Lurus, Sebarkan Sunnah Shohihah )
Arsip
All posts for the month Januari, 2011
Kaum muslimin, yang semoga dirahmati Allah. Keadaan umat Islam saat ini begitu memprihatinkan. Di hadapan musuh-musuh mereka, umat ini terus mengalami kekalahan, ketertinggalan dan penindasan. Negeri-negeri kaum muslimin dirampas begitu saja oleh musuh-musuh mereka. Dalam tubuh umat islam sendiri, mereka saling berselisih dan berpecah belah. Apa sebab lemahnya kaum muslimin saat ini dan bagaimana pemecahan masalah tersebut?
Tulisan di bawah ini akan memberikan penjelasan tentang sebab utama kemunduran dan kelemahan umat Islam saat ini yang disarikan (dengan sedikit tambahan) dari tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Baz -seorang ulama besar/mufti di Saudi Arabia- yang berjudul Asbabu Dho’fil Muslimin Amama ‘Aduwwihim Wal ‘Ilaaju Lidzalik. Semoga Allah merahmati beliau dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi umat untuk memperbaiki keadaan mereka saat ini.
Penyakit yang Menimpa Umat Islam Saat Ini
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Perlu diketahui bahwa sebab kelemahan, ketertinggalan, dan kekalahan kaum muslimin saat ini di hadapan musuh mereka, semuanya kembali pada satu sebab yang akan bercabang ke sebab yang lain. Sebab utama tersebut adalah kebodohan yaitu jahil (bodoh) terhadap Allah, agama-Nya dan berbagai hukum syar’i. Ilmu agama semacam ini telah banyak ditinggalkan oleh umat saat ini. Ilmu ini sangat sedikit dipelajari, sedangkan kebodohan malah semakin merajalela.
Kebodohan merupakan penyakit yang mematikan, dapat mematikan hati dan perasaan, juga melemahkan anggota badan dan kekuatan. Pengidap penyakit ini bagaikan hewan ternak, hanya menyukai syahwat, farji (kemaluan) dan perut. Kebodohan sungguh telah melemahkan hati, perasaan, dan keyakinan kaum muslimin dan akan menjalar ke anggota tubuh mereka yang lain yang membuat mereka lemah di hadapan musuh mereka (Yahudi dan Nashrani).
Mengapa Penyakit Utama Lemahnya Kaum Muslimin adalah Kebodohan?!
Yang menunjukkan bahwa sebab terbesar adalah jahl (bodoh) terhadap Allah, agama-Nya, dan syari’at-Nya -yang seharusnya seseorang berpegang teguh dan mengilmui tiga hal tersebut- yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan, Allah akan memahamkannya dalam perkara agama.” (HR. Bukhari & Muslim).
Maka dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, menunjukkan bahwa di antara tanda Allah akan memberikan kebaikan dan kebahagiaan bagi individu, bangsa, negara yaitu Allah akan memahamkan mereka ilmu din (agama). Berarti dengan memahami agama ini dengan mengenal Allah, Rasul-Nya, dan Syari’at-Nya, individu maupun bangsa akan diberikan oleh Allah berbagai bentuk kebaikan. Dan bodoh tentang hal ini akan membuat kaum muslimin jauh dari kebaikan, sehingga membuat mereka lemah di hadapan musuh mereka.
Di samping itu al-Qur’an juga mencela kebodohan dan orang-orang yang bodoh dan memerintahkan mewaspadainya. Seperti dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al An’am: 111). Juga firman Allah yang artinya, “Dan kebanyakan mereka tidak mengerti” (QS. Al Ma’idah: 103)
Penyakit Cinta Dunia dan Takut Mati
Sebab lain yang menyebabkan kaum muslimin lemah dan tertinggal dari musuh-musuh mereka adalah cinta dunia dan takut mati. Sebab ini muncul karena sebab utama di atas yaitu bodoh terhadap agama Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring“. Kemudian seseorang bertanya, “Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata, “Bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian adalah sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ‘Wahn’. Kemudian seseorang bertanya, “Apa itu ‘wahn’?” Rasulullah berkata, “Cinta dunia dan takut mati.” (Shohih, HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dalam hadits ini terlihat bahwa penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati) akan menimpa dan berada dalam hati-hati mereka. Mereka tidak mampu untuk menggapai kedudukan yang mulia dan tidak mampu pula untuk berjihad fii sabilillah serta menegakkan kalimat Allah. Hal ini disebabkan kecintaan mereka pada dunia dan kesenangan di dalamnya seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan selainnya. Mereka begitu bersemangat mendapatkan kesenangan seperti ini dan takut kehilangannya, sehingga mereka meninggalkan jihad fii sabilillah. Begitu juga mereka menjadi bahil (kikir) sehingga mereka enggan untuk membelanjakan harta mereka kecuali untuk mendapatkan berbagai kesenangan di atas.
Penyakit wahn ini telah merasuk dalam hati kaum muslimin kecuali bagi yang Allah kehendaki dan ini jumlahnya sedikit sekali. Kaum muslimin secara umum telah menjadi lemah di hadapan musuh mereka. Rasa takut telah hilang dari hati musuh mereka sehingga mereka tidak merasa takut dan khawatir terhadap kaum muslim karena mereka telah mengetahui kelemahan kaum muslimin saat ini. Semua hal ini terjadi disebabkan kebodohan yang menyebabkan rasa tamak kaum muslimin pada dunia sehingga kaum kafir (musuh kaum muslimin) menggerogoti mereka dari segala penjuru walaupun jumlah mereka banyak tetapi jumlah ini hanya bagaikan sampah-sampah yang dibawa air hujan yang tidak bernilai apa-apa.
Obat Mujarab untuk Menyembuhkan Penyakit yang Menimpa Kaum Muslimin
Setelah mengetahui berbagai penyakit yang menyebabkan kaum muslimin menjadi lemah di hadapan kaum kafir (Yahudi dan Nashrani) yang disebabkan kebodohan sebagai sebab utama. Maka obat mujarab untuk mengobati penyakit ini, tidak lain dan tidak bukan kecuali menuntut ilmu dan memahami agama ini. Dengan melakukan hal ini mereka akan mendahulukan ridha Allah daripada murka-Nya, bersegera dalam melakukan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya serta segera bertaubat dari dosa yang telah dilakukan pada masa lampau. Dengan hal ini pula mereka akan segera melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi musuh mereka sebagaimana yang Allah perintahkan pada firman-Nya yang artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. (QS. Al Anfaal: 60). Allah memerintahkan dalam ayat ini untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musuh sesuai dengan kemampuan kaum muslimin. Allah tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mempunyai perlengkapan yang sama kuatnya dengan musuh mereka.
Tolonglah Agama Allah, Niscaya Allah akan Menolongmu
Apabila kaum muslimin menghadapi musuh mereka sesuai dengan kemampuan mereka dalam rangka menolong agama Allah, maka Allah akan menolong mereka dan akan menjadikan mereka unggul di atas musuh mereka (dan bukan ditindas oleh musuh). Allah yang Maha Memenuhi Janjinya telah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7). Dan Allah tidaklah lemah untuk menolong hamba-Nya, akan tetapi Allah menguji di antara mereka dengan kejelekan agar diketahui siapa yang jujur atau dusta. Allah Maha Mampu untuk menolong wali-Nya dan untuk menghancurkan musuh-Nya tanpa perang, jihad, atau tanpa menyiapkan persenjataan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah apabila Allah menghendaki, niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.” (QS. Muhammad: 4)
Tatkala perang badar kaum muslimin pada saat itu hanya berjumlah 310-an. Persenjataan dan tunggangan pun sedikit (hanya ada 70 unta dan 2 kuda). Sedangkan pasukan kafir (musuh kaum muslimin) berjumlah sekitar seribu pasukan dan memiliki kekuatan yang besar serta persenjataan yang lengkap. Namun, jumlah, senjata dan kekuatan orang kafir ini tidak bermanfaat bagi mereka. Allah mengalahkan musuh yang memiliki kekuatan besar tersebut yang Allah kisahkan dalam firman-Nya yang artinya, “Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 126). Pertolongan tersebut dari sisi Allah, akan tetapi Allah menjadikan pertolongan tersebut dari para malaikat. Persenjataan, harta, dan bala bantuan yang Allah berikan ini merupakan sebab pertolongan, kabar gembira, dan ketenangan yang Allah berikan.
Menolong Agama Allah adalah dengan Melakukan Amal Shalih
Menolong agama Allah adalah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” (QS. Al Hajj: 40-41)
Dari ayat ini terlihat jelas bahwa sebab terbesar datangnya pertolongan Allah adalah dengan menaati Allah dan Rasul-Nya. Di antara bentuk menaati Allah dan Rasul-Nya adalah dengan mempelajari dan memahami agama ini.
Dari tulisan ini jelaslah sebab lemahnya kaum muslimin yaitu keengganan untuk mempelajari agama ini dan keengganan untuk melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika memang penguasa kaum muslimin dan para ulama betul-betul jujur dalam berdakwah, hendaklah mereka mengajak umat untuk melakukan berbagai bentuk amal shalih yaitu menegakkan shalat, menunaikan zakat, beramar ma’ruf nahi mungkar, dan hendaklah mereka mengajak umat Islam untuk mempelajari dan memahami agama agar mereka dapat mengenal Allah, Nabi-Nya, dan syari’at agama yang mulia ini.
Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin saat ini dan memperbaiki ulil amri (penguasa dan ulama). Semoga Allah memberikan kaum muslimin bashiroh (ilmu dan keyakinan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Tulisan di bawah ini akan memberikan penjelasan tentang sebab utama kemunduran dan kelemahan umat Islam saat ini yang disarikan (dengan sedikit tambahan) dari tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Baz -seorang ulama besar/mufti di Saudi Arabia- yang berjudul Asbabu Dho’fil Muslimin Amama ‘Aduwwihim Wal ‘Ilaaju Lidzalik. Semoga Allah merahmati beliau dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi umat untuk memperbaiki keadaan mereka saat ini.
Penyakit yang Menimpa Umat Islam Saat Ini
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Perlu diketahui bahwa sebab kelemahan, ketertinggalan, dan kekalahan kaum muslimin saat ini di hadapan musuh mereka, semuanya kembali pada satu sebab yang akan bercabang ke sebab yang lain. Sebab utama tersebut adalah kebodohan yaitu jahil (bodoh) terhadap Allah, agama-Nya dan berbagai hukum syar’i. Ilmu agama semacam ini telah banyak ditinggalkan oleh umat saat ini. Ilmu ini sangat sedikit dipelajari, sedangkan kebodohan malah semakin merajalela.
Kebodohan merupakan penyakit yang mematikan, dapat mematikan hati dan perasaan, juga melemahkan anggota badan dan kekuatan. Pengidap penyakit ini bagaikan hewan ternak, hanya menyukai syahwat, farji (kemaluan) dan perut. Kebodohan sungguh telah melemahkan hati, perasaan, dan keyakinan kaum muslimin dan akan menjalar ke anggota tubuh mereka yang lain yang membuat mereka lemah di hadapan musuh mereka (Yahudi dan Nashrani).
Mengapa Penyakit Utama Lemahnya Kaum Muslimin adalah Kebodohan?!
Yang menunjukkan bahwa sebab terbesar adalah jahl (bodoh) terhadap Allah, agama-Nya, dan syari’at-Nya -yang seharusnya seseorang berpegang teguh dan mengilmui tiga hal tersebut- yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan, Allah akan memahamkannya dalam perkara agama.” (HR. Bukhari & Muslim).
Maka dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, menunjukkan bahwa di antara tanda Allah akan memberikan kebaikan dan kebahagiaan bagi individu, bangsa, negara yaitu Allah akan memahamkan mereka ilmu din (agama). Berarti dengan memahami agama ini dengan mengenal Allah, Rasul-Nya, dan Syari’at-Nya, individu maupun bangsa akan diberikan oleh Allah berbagai bentuk kebaikan. Dan bodoh tentang hal ini akan membuat kaum muslimin jauh dari kebaikan, sehingga membuat mereka lemah di hadapan musuh mereka.
Di samping itu al-Qur’an juga mencela kebodohan dan orang-orang yang bodoh dan memerintahkan mewaspadainya. Seperti dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al An’am: 111). Juga firman Allah yang artinya, “Dan kebanyakan mereka tidak mengerti” (QS. Al Ma’idah: 103)
Penyakit Cinta Dunia dan Takut Mati
Sebab lain yang menyebabkan kaum muslimin lemah dan tertinggal dari musuh-musuh mereka adalah cinta dunia dan takut mati. Sebab ini muncul karena sebab utama di atas yaitu bodoh terhadap agama Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring“. Kemudian seseorang bertanya, “Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata, “Bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian adalah sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ‘Wahn’. Kemudian seseorang bertanya, “Apa itu ‘wahn’?” Rasulullah berkata, “Cinta dunia dan takut mati.” (Shohih, HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dalam hadits ini terlihat bahwa penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati) akan menimpa dan berada dalam hati-hati mereka. Mereka tidak mampu untuk menggapai kedudukan yang mulia dan tidak mampu pula untuk berjihad fii sabilillah serta menegakkan kalimat Allah. Hal ini disebabkan kecintaan mereka pada dunia dan kesenangan di dalamnya seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan selainnya. Mereka begitu bersemangat mendapatkan kesenangan seperti ini dan takut kehilangannya, sehingga mereka meninggalkan jihad fii sabilillah. Begitu juga mereka menjadi bahil (kikir) sehingga mereka enggan untuk membelanjakan harta mereka kecuali untuk mendapatkan berbagai kesenangan di atas.
Penyakit wahn ini telah merasuk dalam hati kaum muslimin kecuali bagi yang Allah kehendaki dan ini jumlahnya sedikit sekali. Kaum muslimin secara umum telah menjadi lemah di hadapan musuh mereka. Rasa takut telah hilang dari hati musuh mereka sehingga mereka tidak merasa takut dan khawatir terhadap kaum muslim karena mereka telah mengetahui kelemahan kaum muslimin saat ini. Semua hal ini terjadi disebabkan kebodohan yang menyebabkan rasa tamak kaum muslimin pada dunia sehingga kaum kafir (musuh kaum muslimin) menggerogoti mereka dari segala penjuru walaupun jumlah mereka banyak tetapi jumlah ini hanya bagaikan sampah-sampah yang dibawa air hujan yang tidak bernilai apa-apa.
Obat Mujarab untuk Menyembuhkan Penyakit yang Menimpa Kaum Muslimin
Setelah mengetahui berbagai penyakit yang menyebabkan kaum muslimin menjadi lemah di hadapan kaum kafir (Yahudi dan Nashrani) yang disebabkan kebodohan sebagai sebab utama. Maka obat mujarab untuk mengobati penyakit ini, tidak lain dan tidak bukan kecuali menuntut ilmu dan memahami agama ini. Dengan melakukan hal ini mereka akan mendahulukan ridha Allah daripada murka-Nya, bersegera dalam melakukan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya serta segera bertaubat dari dosa yang telah dilakukan pada masa lampau. Dengan hal ini pula mereka akan segera melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi musuh mereka sebagaimana yang Allah perintahkan pada firman-Nya yang artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. (QS. Al Anfaal: 60). Allah memerintahkan dalam ayat ini untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musuh sesuai dengan kemampuan kaum muslimin. Allah tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mempunyai perlengkapan yang sama kuatnya dengan musuh mereka.
Tolonglah Agama Allah, Niscaya Allah akan Menolongmu
Apabila kaum muslimin menghadapi musuh mereka sesuai dengan kemampuan mereka dalam rangka menolong agama Allah, maka Allah akan menolong mereka dan akan menjadikan mereka unggul di atas musuh mereka (dan bukan ditindas oleh musuh). Allah yang Maha Memenuhi Janjinya telah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7). Dan Allah tidaklah lemah untuk menolong hamba-Nya, akan tetapi Allah menguji di antara mereka dengan kejelekan agar diketahui siapa yang jujur atau dusta. Allah Maha Mampu untuk menolong wali-Nya dan untuk menghancurkan musuh-Nya tanpa perang, jihad, atau tanpa menyiapkan persenjataan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah apabila Allah menghendaki, niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.” (QS. Muhammad: 4)
Tatkala perang badar kaum muslimin pada saat itu hanya berjumlah 310-an. Persenjataan dan tunggangan pun sedikit (hanya ada 70 unta dan 2 kuda). Sedangkan pasukan kafir (musuh kaum muslimin) berjumlah sekitar seribu pasukan dan memiliki kekuatan yang besar serta persenjataan yang lengkap. Namun, jumlah, senjata dan kekuatan orang kafir ini tidak bermanfaat bagi mereka. Allah mengalahkan musuh yang memiliki kekuatan besar tersebut yang Allah kisahkan dalam firman-Nya yang artinya, “Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 126). Pertolongan tersebut dari sisi Allah, akan tetapi Allah menjadikan pertolongan tersebut dari para malaikat. Persenjataan, harta, dan bala bantuan yang Allah berikan ini merupakan sebab pertolongan, kabar gembira, dan ketenangan yang Allah berikan.
Menolong Agama Allah adalah dengan Melakukan Amal Shalih
Menolong agama Allah adalah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” (QS. Al Hajj: 40-41)
Dari ayat ini terlihat jelas bahwa sebab terbesar datangnya pertolongan Allah adalah dengan menaati Allah dan Rasul-Nya. Di antara bentuk menaati Allah dan Rasul-Nya adalah dengan mempelajari dan memahami agama ini.
Dari tulisan ini jelaslah sebab lemahnya kaum muslimin yaitu keengganan untuk mempelajari agama ini dan keengganan untuk melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika memang penguasa kaum muslimin dan para ulama betul-betul jujur dalam berdakwah, hendaklah mereka mengajak umat untuk melakukan berbagai bentuk amal shalih yaitu menegakkan shalat, menunaikan zakat, beramar ma’ruf nahi mungkar, dan hendaklah mereka mengajak umat Islam untuk mempelajari dan memahami agama agar mereka dapat mengenal Allah, Nabi-Nya, dan syari’at agama yang mulia ini.
Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin saat ini dan memperbaiki ulil amri (penguasa dan ulama). Semoga Allah memberikan kaum muslimin bashiroh (ilmu dan keyakinan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Oleh
Syiakh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa sallam, keluarganya, shahabatnya serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya.
Sungguh telah tersebar ditengah masyarakat, baik masyarakat penulis maupun masyarakat bukan penulis, satu ilmu yang dinamakan ilmu memanggil roh. Mereka mengaku bisa memanggil roh orang-orang mati dengan cara yang ditemukan oleh para tukang sihir. Mereka bertanya kepada para roh kabar tentang nikmat dan siksa yang dialami oleh orang-orang mati serta masalah-masalah lain yang kira-kira arwah dianggap mengetahuinya dalam kehidupan mereka (di alam kubur).
Aku telah banyak meneliti (merenungi) permasalahan ini sehingga jelas bagiku bahwa ilmu memanggil roh adalah ilmu yang batil. Dan ilmu tersebut merupakan permainan syetan yang bertujuan merusak aqidah dan akhlaq, menipu kaum muslimin dan menyeret mereka hingga sampai pada sikap mengaku tahu terhadap perkara ghaib dalam banyak masalah. Oleh sebab itu aku merasa perlu menulis kalimat ringkas ini untuk menjelaskan kebenaran, menasehati ummat serta menyingkap penipuan terhadap manusia.
Maka aku katakan, tidak diragukan lagi bahwa masalah ini sebagaimana masalah-masalah yang lain harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah atau salah satunya maka kita harus menetapkannya dan apa saja yang dinafikan (ditiadakan) Al-Qur’an dan Sunnah atau salah satunya maka kitapun harus menafikannya. Sebagaimana firman Allah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [An-nisa’ 59]
Masalah roh merupakan perkara ghaib yang hakikatnya hanya diketahui Allah saja. Orang tidak boleh sibuk membicarakannya kecuali berdasarkan dalil syar’i. Allah berfirman.
عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”. [Al-Jin 26-27]
قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, [An-Naml 56]
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud roh (arwah) yang terdapat dalam Al Qur’an, surah Al-Isra’ 85.
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:”Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Sebagian ulama mengatakan, bahwa maksudnya adalah roh yang ada pada badan. Berdasarkan pendapat ini maka ayat diatas merupakan dalil bahwa roh termasuk urusan Allah, tidak diketahui oleh manusia sedikitpun kecuali yang diberitahukan oleh Allah. Karena masalah roh merupakan satu di antara sekian banyak masalah yang khusus menjadi rahasia Allah. Dia menutup persoalan ini terhadap makhluk-Nya.
Sementara itu Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dari Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia akan tetap hidup setelah kematian jasad. Diantara yang menunjukkan hal tersebut adalah firman Allah.
اللهُ يَتَوَفَّى اْلأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ اْلأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
“Allah memegang jiwa (roh seseorang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (seseorang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Ia tahan jiwa (roh orang) yang telah ia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan lagi jiwa (roh) yang lain sampai waktu yang ditentukan” [Az-Zumar 42]
Ada riwayat yang shahih, bahwa pada perang Badar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengurus 24 orang bangkai pemuka Quraisy , mereka dilemparkan kedalam sebuah sumur busuk yang ada di Badar. Manakala beliau sudah mengalahkan kaum (Musyrikin Quraisy), beliau tinggal di tanah Badar yang menjadi lengang selama 3 malam. Setelelah beliau berada di sana pada hari yang ketiga, beliau memerintahkan untuk mempersiapkan binatang tungganngannya, lalu dipasang dan dikuatkanlah pelananya. Kemudian beliau berjalan diiringi oleh para shahabatnya. Para shahabat berkata, “kami tidak melihat beliau beranjak kecuali dengan maksud memenuhi sebagian kebutuhannya. Sampai akhirnya beliau berdiri di sisi bibir sumur, kemudian beliau memanggil bangkai-bangkai pembesar kafir Quraisy (yang terkubur di dalam sumur) tersebut dengan menyebutkan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka, “Wahai Fulan bin fulan, Wahai Fulan bin fulan, Bukankah kalian akan senang jika kalian mentaati Allah dan rasulNya? Sesungguhnya kami benar-benar telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Rabb kami. Bukankah kalian juga telah benar-benar mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Rabb kalian.” Umar berkata, “Wahai Rasulullah kenapa anda berbicara dengan jasad-jasad yang tidak memiliki roh ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, kalian tidak lebih baik pendengarannya terhadap apa yang aku katakan dibanding mereka, hanya saja mereka tidak mampu menjawab” [HR. Bukhari, Kitab al-Maghazi, no.3976. Fathul Bari VII/300-301]
Juga terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mayit bisa mendengar suara sandal (sepatu) orang-orang yang mengantarnya ketika mereka meninggalkan (kuburan)nya.
Imam Al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum salaf telah bersepakat atas hal ini. Atsar dari mereka sudah mutawatir bahwa mayit mengetahui jika ada orang yang menziarahinya dan merasa bahagia dengan ziarah tersebut”.
Selanjutnya Ibnul Qayyim menukil perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dalam menafsirkan firman Allah.
اللهُ يَتَوَفَّى اْلأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ اْلأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
“Allah memegang jiwa (roh seseorang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (seseorang) yang belum mati di waktu tidurnya ; maka Ia tahan jiwa (roh orang) yang telah ia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan lagi jiwa (roh) yang lain sampai waktu yang ditentukan”. [Az-Zumar 42}
“Telah sampai kepadaku bahwasanya roh orang-orang yang masih hidup dan yang sudah mati bisa bertemu didalam tidur (mimpi-red) kemudian mereka saling bertanya, lalu Allah menahan roh orang yang sudah mati dan mengembalikan roh orang yang masih hidup ke jasadnya.”
Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Sungguh pertemuan antara roh orang-orang yang masih hidup dengan roh orang-orang yang sudah meninggal menunjukkan bahwa orang yang masih hidup bisa melihat orang yang sudah meninggal dalam mimpinya dan menanyainya hingga orang yang sudah mati menceritakan apa yang tidak diketahui oleh yang masih hidup. Atas dasar inilah terkadang berita orang yang hidup (tentang keadaan orang yang sudah mati) bisa pas sesuai dengan kenyataan.”
Demikianlah yang dipegang oleh Salafus Shalih, yaitu roh orang-orang yang sudah mati tetap ada dan bisa mendengar sampai waktu yang dikehendaki Allah. Tetapi tidak benar, kalau roh-roh itu bisa berhubungan dengan orang-orang yang masih hidup selain dalam mimpi.
Begitu pula tidaklah benar pengakuan para tukang sihir tentang kemampuan mereka mendatangkan roh orang-orang mati yang diinginkan, lalu mengajaknya berbicara dan bertanya-tanya (berbagai hal) kepadanya. Ini adalah pengakuan yang batil, tidak ada dalil yang menguatkannya baik dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits-pent) maupun dalil aqli. Allahlah yang Maha Mengetahui masalah roh. Dialah yang mengatur roh. Dia pulalah yang berkuasa mengembalikan roh tersebut ke jasad manusia kapan saja Ia kehendaki. Hanya Allah yang Maha mengatur kerajaanNya dan ciptaanNya, tidak ada yang bisa menandingiNya.
Sedangkan orang yang beranggapan selain itu (tidak mengakui kekuasaan Allah-pent) maka dia hanya beranggapan tanpa berdasarkan ilmu dan dia berdusta kepada manusia tentang berita-berita roh yang dia sebarkannya. Hal itu mungkin untuk tujuan mendapatkan harta atau untuk menunjukkan kemampuannya yang tidak dimiliki orang lain atau untuk menipu manusia dengan maksud merusak agama dan akidah mereka.
Apa yang diaku-aku oleh para dajjal ini, yaitu memanggil roh-roh sebenarnya adalah roh-roh syetan. Mereka memberikan pelayanan kepada syetan-syetan itu dengan cara menyembahnya dan memenuhi permintaannya. Roh-roh syetan tadi membantu para dajjal ini dengan bantuan yang diminta dengan cara berdusta dan berbuat dosa dalam menjiplak nama orang-orang mati yang dipanggil para dajjal itu. Allah berfirman.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ مَافَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَايَفْتَرُونَ . وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاْلأَخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَاهُم مُّقْتَرِفُونَ
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syetan) kerjakan". [Al-An’am 112-113]
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَامَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُم مِّنَ الإِنسِ وَقَالَ أَوْلِيَآؤُهُم مِّنَ اْلإِنسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَآ أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلَتْ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَآ إِلاَّ مَاشَآءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Allah berfirman):”Hai golongan jin (syetan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia:”Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari pada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman:”Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. [Al-An’am : 128]
Para Ulama tafsir menyebutkan, kesenangan jin terhadap manusia ialah karena pengabdian manusia kepada jin, dengan cara memberikan sesajian binatang sembelihan, bernadzar dan meminta-minta kepada jin. Sedangkan kesenangan manusia terhadap jin ialah karena pemenuhan jin terhadap kebutuhan yang diminta manusia, dan juga karena pemberitaan jin kepada manusia tentang beberapa perkara ghaib yang diketahuinya atau yang berhasil ia curi dengar atau yang hanya sekedar kedustaan yang dibuat-buat mengenai banyak persoalan yang rumit. Dan kedustaan inilah yang justeru paling banyak (dilakukan oleh jin).
Sekalipun sekiranya kita memastikan bahwa para tukang sihir itu tidak mendekatkan diri kepada roh (syetan) yang mereka datangkan dengan suatupun dari bentuk peribadatan, tetap saja hal itu tidak menunjukkan halal dan kebolehannya berhubungan dengan para roh syetan tersebut. Karena meminta kepada syetan, peramal, tukang tenung dan ahli nujum dilarang menurut syari’i. Dan mempercayai apa yang mereka beritahukan merupakan larangan yang paling keras dan dosa paling besar bahkan ini merupakan cabang kekufuran, Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal lalu bertanya tentang sesuatu, tidak diterima shalatnya selama 40 malam”
Dalam Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Sunan, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ n
“Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung dan membenarkan apa yang dia ucapkan maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap yang apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Banyak hadits serta atsar (perkataan shahabat-pent) yang semakna dengan ini. Dan tidak diragukan lagi bahwa roh-roh yang –menurut prasangka mereka- bisa mereka panggil, masuk dalam kategori yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab roh-roh yang dipangggil itu sejenis dengan roh-roh syetan yang menjadi pendamping tukang tenung dan tukang ramal, maka hukumnya sama. Karena itu tidak boleh bertanya (meminta) kepadanya, memanggilnya dan mempercayainya. Semua itu diharamkan dan termasuk kemungkaran. Bahkan semua itu batil berdasarkan hadits-hadits serta atsar-atsar yang telah di dengar di muka dalam masalah ini. Di samping itu juga karena berita yang mereka ambil dari roh-roh ini termasuk perkara ghaib, padahal Allah berfirman.
قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”. [An-Naml : 65]
Terkadang roh-roh yang mereka panggil ini adalah syetan yang menemani orang mati yang dipanggil rohnya. Lalu syetan ini memberitahukan apa yang ia ketahui tentang mayit ini semasa hidupnya sambil mengaku bahwa dialah arwah sang mayit. Oleh sebab itu tidak boleh mempercayainya, memanggilnya dan menanyainya sebagaimana dalil yang telah disebutkan. Dan apa yang ia panggil itu tidak lain hanyalah syetan dan jin yang membantu mereka sebagai imbalan dari persembahan yang mereka berikan kepada syetan tersebut, berupa peribadatan yang seharusnya tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Dengan cara demikian maka ia (orang yang memanggil arwah) sampai pada batas syirik akbar yang akan mengeluarkan sang pelaku dari Islam.
Lajnah Daimah (Dewan Tetap) Untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa tentang hipnotis yang merupakan salah satu jenis mendatangkan roh. Teks fatwa itu sebagai berikut:
“Hipnotis merupakan sebentuk praktek perdukunan dengan bantuan jin yang dipasang oleh si penghipnotis pada orang yang di hipnotis. Lalu jin itu berbicara dengan lidah orang yang dihipnotis dan memberinya kemampuan untuk mengerjakan sebagian pekerjaan dengan kekuatan jin yang ada pada dirinya, jika jin itu benar-benar patuh terhadap si penghipnotis, sebagai imbalan dari ibadah penghipnotis kepada jin. Lalu jin itu membuat orang yang dihipnotis mentaati kemauan si penghipnotis. Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang dimaukan oleh sipenghipnotis karena adanya bantuan jin kerpadanya (penghipnotis), jika jin tersebut berbuat jujur kepadanya.
Berdasarkan (uraian-red) itu, maka menggunakan hipnotis dan menjadikannya sebagai cara untuk menunjukkan letak barang yang dicuri atau barang hilang atau untuk mengobati orang sakit atau untuk melakukan pekerjaan apa saja dengan perantara orang yang dihipnotis, hukumnya tidak boleh bahkan termasuk syirik seperti penjelasan yang telah lewat. Di samping itu juga karena termasuk berlindung kepada selain Allah, karena tidak mempergunakan sebab-sebab (usaha-usaha) wajar yang dijadikan sebagai sebab oleh Allah yang diperbolehkan bagi para makhlukNya. [Sampai disini fatwa Lajnah Daimah] [1]
Diantara orang yang membongkar hakikat anggapan bathil ini adalah Dr. Muhammad Muhammad Husain dalam kitabnya Ar-Ruhiyyah al-Haditsah, Haqiqatuha wa Ahdafuha. Dulunya, dia termasuk orang yang tertipu dengan sulap (sihir) ini dalam waktu yang cukup lama kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya menuju kebenaran. Kemudian dia membongkar kebohongan anggapan tersebut setelah dia mendalami ilmu itu dan tidak mendapatkan selain khurafat dan kebohongan, kemudian beliau membongkar kebohongan anggapan tersebut.
Dr Muhammad Muhammad Husein menyebutkan, orang yang memanggil roh menempuh cara yang berbeda-beda. Di antaranya ada yang pemula, mereka menggunakan gelas kecil atau cangkir yang digeser-geser diantara huruf-huruf yang tertulis di meja. Menurut anggapan mereka, jawaban roh yang dipanggil itu tersusun dari kumpulan urut-urutan huruf yang tergeser oleh geseran gelas atau cangkir tersebut. Di antaranya lagi lagi ada yang menggunakan keranjang. mereka menaruh pena dibibir keranjang, pena ini akan menulis jawaban dari soal yang diajukan penanya. Kemudian, di antaranya lagi ada yang bertumpu pada perantara seperti halnya perantara pada ilmu hipnotis.
Dr Muhammad Muhammad Husein menyatakan bahwa ia meragukan kebenaran orang yang mengaku mampu memanggil roh. Kenyataannya, ada orang dibelakang mereka yang mendorong mereka untuk berbuat semacam itu. Buktinya, ada propaganda yang bekerja untuk mereka. Sehingga Koran-koran dan majalah-majalah berlomba-lomba untuk mengikuti berita mereka dan menyebarkan pengakuan-pengakuan (bohong-red) mereka. Padahal sebelumnya media-media tersebut tidak bergairah untuk (memuat-red) berita menyangkut roh dan akhirat dan juga media-media itu tidak pernah menyeru kepada agama atau keimanan kepada Allah walaupun hanya sehari.
Beliau (Mumahammad Muhammad Husain) juga menyatakan bahwa mereka ini sangat antusias untuk menghidupkan dakwah Fir’aun dan dakwah-dakwah jahiliyah lainnya. Dia juga menyebutkan, orang-orang yang mempromotori ide ini merupakan orang yang sebenarnya tidak memiliki kedudukan atau kehormatan lalu mereka mengangkat sendiri kemuliaan dirinya dengan khayalan-khayalan. Orang yang paling terkenal mempromotori bid’ah ini adalah Oliver Lordge yang kehilangan anaknya dalam perang dunia pertama. Demikian juga pendiri lembaga Ruhiyah (menggeluti soal roh) di Mesir ; Ahmad Fahmi Abul Khair yang anaknya meninggal 1937 M setelah melewati masa penantian hadirnya anak tersebut dalam waktu cukup lama.
Dr Muhammad Muhammad Husein menyebutkan bahwa dia pernah melakukan bid’ah ini, dimulai dengan cangkir dan meja akan tetapi dia tidak merasa puas, sampai dengan menggunakan perantara dan dia berusaha melihat apa yang mereka akui sebagai penjelmaan roh atau suara dan mereka ceritakan sebagai bukti pengakuan mereka, namun dia tidak berhasil dan begitu juga yang yang lainnya. Karena memang sebenarnya tidak ada. Itu hanyalah permainan-permainan bohong yang didasarkan pada tipu muslihat tersembunyi yang jitu untuk menghancurkan agama. Sehingga tidak jauh beda dengan cara-cara zionisme internasional.
Ketika Muhammad Muhammad Husein tidak puas dengan pemikiran-pemikiran (ide-ide) yang merusak itu, bahkan ia dapat membongkar kebohongannya, maka ia mengundurkan diri darinya dan bertekad untuk menjelaskan hakikatnya kepada manusia. Ia juga mangatakan bahwa orang-orang menyimpang ini akan senantiasa menipu manusia sampai mereka berhasil mengeluarkan keimanan dari dada mereka dan mengeluarkan akidah yang telah tertanam di dalam jiwa mereka. Untuk selanjutnya mereka akan diseret menuju prasangka-prasangka dan khayalan-khayalan kacau yang membingungkan.
Orang-orang yang mengaku bisa memanggil roh ini tidak mengakui para rasul kecuali hanya sebagai penghubung persoalan roh saja. Sebagaimana perkataan pemimpin mereka, Arthur Findlay dalam bukunya ala haafati al’alam al-atsiiri tentang para nabi, “Mereka (para nabi) adalah perantara yang paling tinggi derajatnya diantara derajat-derajat perantara lainnya. Dan mukjizat para nabi itu tidak lain hanyalah fenomena-fenomena arwah, seperti fenomena-fenomena yang terjadi di tempat pemanggilan arwah.”
Dr Muhammad Muhammad Husein selanjutnya mengatakan, “Jika mereka gagal memanggil roh, mereka akan mengatakan, ‘perantara ini tidak berhasil atau tidak bersungguh-sungguh atau orang yang melihat tidak sepakat atau ada diantara yang hadir masih bimbang atau menentang’. Diantara anggapan mereka yang bathil adalah menganggap Jibril Alaihissallam datang ditempat perkumpulan mereka dan mendo’akannya. Semoga Allah menjelekkan mereka.
Demikianlah maksud dari penjelasan Dr. Muhammad Muhammad Husain.
Dari jawaban kami di muka dan dari penjelasan Lajnah Daimah serta penjelasan Dr. Muhammad Muhammad Husain tentang hipnotis, jelaslah kebohongan para pengaku pemanggil roh tentang (kemampuan) mereka mendatangkan roh orang mati, untuk kemudian ditanyai tentang apa saja yang mereka inginkan. Diketahui pula! bahwa semua ini merupakan perbuatan syetan dan permainan sulap yang bathil, termasuk dalam perbuatan yang dilarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamn yaitu termasuk bertanya kepada tukang tenung, tukang ramal, ahli nujum dan orang yang semisal mereka. Dan wajib atas semua yang bertanggung jawab di Negara Islam untuk melarang kebathilan ini, memusnahkannya serta memberikan hukuman terhadap orang yang melakukannya sehingga dia berhenti. Sebagaimana juga wajib atas semua pemimpin redaksi majalah-majalah Islam supaya tidak memuat dan mengotori lembaran-lembaran mereka dengan kebathilan ini. Kalaupun terpaksa untuk memuatnya maka hendaklah sekedar untuk membantah, memberitahukan kebatilannya serta memperingatkan manusia terhadap permainan syetan baik yang berwujud manusia ataupun jin serta memberi peringatan terhadap tipu daya mereka kepada manusia.
Allah Maha berkata benar, Dialah yang menunjukkan jalan kebenaran. Dan hanya kepada Allahlah permohonan diajukan, agar hendaknya Dia memperbaiki kondisi kaum muslimin serta menganugerahkan pemahaman yang baik dalam masalah agama kepada mereka. Juga agar hendaknya Allah melindungi mereka dari tipu daya orang-orang jahat dan tipu daya wali-wali syetan. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas semuanya.
و صلى الله وسلم على نبينا محمد
(Diterjemahkan oleh Abu Zahra’ Marzuki Fauzi. Dari Mukhtarat Min Kitab Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Baz hal. 212 s/d 217. Pernah dimuat di media-media setempat dan media-media Islam tahun 1395H)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VII/1424H/2003 Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua), Syaikh Abdurrozaq Afifi (wakil), Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan (anggota) dan Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’ (anggota)
1). Bagaimana dengan seorang manusia yang oleh sebagian besar masyarakat telah mengenalnya sebagai seorang Ustadz yang memiliki kekuatan supranatural, yang katanya “kelebihan” ini suda ada tanda-tandanya saat masih bayi. Kelebihannya itu seperti mampu mengobati orang stress dengan cara membantu membukakan “nur”nya, mampu melihat makhluk-makhluk ghaib dan sering bermimpi yang sering pula mimpi ini menjadi kenyataan. Apakah betul manusia seperti ini seakan-akan diberi ilham / hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala pada jaman sekarang?
2). Jika kita khawatir apabila orang sakit jiwa disebabkan oleh sesuatu yang ghaib lantas kita mencoba mengobatinya kepada seseorang yang mempunyai kemampuan supranatural. Apakah dugaan ini boleh dibenarkan dan bagaimana dengan bentuk usahanya ini, apakah diperbolehkan dalam Islam?
3). Saya mohon penjelasan tentang ruh, seperti ruh yang gentayangan yang kadang menampakkan dirinya. Apakah ruh gentayangan ini dapat mengganggu manusia seperti membuatnya jadi sakit, meninggal atau gila? Dan mengapa sampai ruh tersebut gentanyangan di dunia. Juga tentang perbuatan manusia seperti main jelangkung. Apa hukumnya?
(Chairul Rasyid)
// <![CDATA[//
JAWAB:
Perlu saudara penanya ketahui bahwa penilaian sebagian besar masyarakat itu tidak bisa dijadikan dasar penilaian bahwa suatu perkara itu benar atau salah. Apalagi dalam perkara yang sesungguhnya adalah perkara ghaib (tidak bisa dicapai kepastiannya oleh akal atau panca indera). Karena pendapat sebagian besar masyarakat itu cenderung salah dan sesat. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Dan kalau kamu mentaati mayoritas / kebanyakan orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya mereka itu hanya mengikuti dugaan belaka dan mereka itu hanya mengira-ngira.” ( Al-An`am : 116)
Adapun apa yang dikatakan dengan kekuatan supranatural (kekuatan ghaib) yang ada pada seorang Ustadz, apalagi dikatakan bahwa “kelebihan” tampak sejak dia lahir, semua itu perlu kepastian ilmiah dan tidak cukup hanya dengan berita dari keumuman masyarakat. Sedangkan kepastian ilmiah dalam perkar gaib hanya bisa dicapai melalui dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an dan al-hadits. Sedangkan kekuatan gaib itu dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya ada dua macam:
a). Kekuatan gaib dari Allah Ta’ala. Kekuatan ini hanya diberikan kepada para wali-wali Allah atau para kekasih-Nya. Kekuatan yang demikian ini dinamakan karamah. Kekuatan gaib dalam bentuk karamah ini diberikan oleh Allah kepada para kekasih-Nya dalam saat-saat tertentu yang dikehendaki-Nya, bahkan kadang-kadang para wali Allah itu tidak menyadari adanya karamah pada dirinya. Karena memang kekuatan gaib yang muncul dalam bentuk berbagai keanehan di luar rencananya, tetapi semata-semata dalam rencana dan kehendak Allah Ta’ala.
b). Kekuatan gaib dari setan. Kekuatan gaib ini hanya pada orang-orang yang berbuat kemaksiatan, kebid’ahan dan kemusyrikan. Orang-orang yang mempunyai kekuatan demikian, dengan rencana dan keinginannya terus-menerus menampakkan berbagai keanehan itu untuk menipu manusia.
(lihat lebih lanjut uraian lengkap masalah ini dalam kitab Al-Furqan Baina Auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Juga dalam Majmu’ Fatawa beliau jilid 11 hal. 156 – 310)
Adapun kemampuan mengobati orang yang stress, ini tidak memerlukan kekuatan batin. Tetapi keahlian dan pengalaman, ketekunan serta kesabaran sebagai kemampuan utama untuk membantu upaya penyembuhan orang yang stress. Sedangkan kesembuhan itu datangnya dari Allah Ta’ala semata. Upaya penyembuhan itu adalah perkara yang diperintahkan oleh agama. Hanya saja upaya penyembuhan itu haruslah dilakukan oleh orang yang telah terbukti mempunyai kemampuan untuk itu. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah yang Maha Agung dan Maha Mulia di mana saja menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obat penawarnya. Oleh karena itu berobatlah kalian.” (HR. Ahmad dalam Musnad nya jilid 3 hal. 156 dari Anas bin Malik radliyallahu `anhu . Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan: “Sanad hadits ini baik.” (Lihat kitab beliau Ghayatul Maram hadits ke 292)
Dalam sabdanya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berobat sebagai upaya mendapatkan kesembuhan dari Allah Ta`ala.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda:
“Apabila amanah telah ditelantarkan, maka tunggu saja datangnya hari kiamat.” Ditanyakan kepada beliau: “Bagaimanakah amanah itu ditelantarkan?” beliau menjawab: “Apabila diserahkannya suatu perkara bukan kepada ahlinya, maka tunggulah datangnya kiamat.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul `Ilmi bab kedua, dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu ).
Dalam sabdanya di hadits ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memperingatkan bahwa segala sesuatu itu bila diserahkan kepada yang bukan ahlinya, akan menjadi malapetaka bagi umat ini. Termasuk pula dalam perkara pengobatan terhadap orang yang stress atau penyakit lainnya. Dan keahlian untuk mengobati orang sakit itu didapatkan melalui belajar tentangnya, tidaklah melalui kejadian tiba-tiba kemudian menjadi ahli. Sangat dikhawatirkan, keahlian yang demikian ini didapatkan melalui jalan yang tidak syar’i (yakni tidak sesuai dengan tuntunan syari’ah). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Ilmu itu dicapai hanyalah dengan belajar dan sikap tidak tergesa-gesa dalam segala perkara itu didapatkan dengan berlatih untuk bersikap demikian. Dan barangsiapa selalu mencari kebaikan, dia akan diberi kebaikan. Dan barangsiapa yang selalu menjaga diri dari kejelekan, dia akan dilindungi daripadanya.’ (HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh nya dan Ad-Daruquthni dalam Al-Afrad nya dari Abu Hurairah dan Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dari Abi Darda’. Demikianlah dinukil hadits ini dan diterangkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ul Kabir ( Jam’ul Jawami’ ) jilid 2 hal. 419 hadits ke 6363. Juga dinukil oleh Al-`Allamah Ala’uddin Al-Muttaqi bin Hasanuddin Al-Hindi dalam Kanzul Ummal jilid 10 hal. 239 hadits ke 29266)
Al-Hindi juga membawakan riwayat At-Thabrani dari Muawiyah bin Abi Sufyan dengan lafadh:
“Wahai sekalian manusia, ilmu itu dicapai hanyalah dengan belajar. Dan fiqih (pengertian) itu hanya bisa dicapai dengan belajar fiqih. Dan barangsiapa yang Allah inginkan kebaikannya, Allah jadikan dia mengerti tentang agama-Nya. Dan yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah mereka yang berilmu agama.” ( Kanzul Ummal jilid 10 hal. 239 hadits 29265)
Dari hadits-hadits ini ditegaskan kepada kita bahwa ilmu itu didapat melalui proses belajar dan bukan dengan pemberian ilmu yang tiba-tiba secara ghaib. Jadi kalau ada Ustadz yang diberitakan atau mengaku dapat ilmu mengobati orang sakit atau ilmu-ilmu lainnya tanpa proses belajar sebagaimana mestinya, maka anda harus waspada kepadanya, bisa jadi ilmunya itu dari para setan dari kalangan jin dan yang demikian ini jelas dilarang keras oleh agama. Dan berobat kepada orang yang demikian ini haram dan bila mempercayai berita-berita dia yang ghaib, amalan ibadahnya tidak diterima oleh Allah selama empat puluh hari. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam :
“Barangsiapa mendatangi orang yang dianggap punya ilmu ghaib kemudian menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang gaib kemudian membenarkannya, tidak akan diterima shalatnya empat puluh hari.” (HR. Muslim dalam Kitab Shahih nya)
‘Arraf yang disebut di hadits ini menurut keterangan Ibnul Atsir dalam kitab beliau An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar jilid 3 hal. 218 menerangkan: “ `Arraf yang disebut di hadits ini adalah tukang nujum yang mengaku punya ilmu ghaib.”
Jadi Ustadz yang diberitakan kebanyakan orang punya ilmu ghaib atau bahkan mengaku demikian itu sangat dikhawatirkan termasuk ‘ arraf yang akan merusak nilai ibadah kita.
Adapun tentang orang yang sakit jiwa, dia mestinya diobati dengan dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an padanya, serta berusaha pula membawanya ke dokter ahli jiwa untuk mendapatkan pengobatan yang cukup. Ini adalah dalam rangka menyerahkan urusan tersebut kepada ahlinya.
Kemudian, berkenaan dengan apa yang disebut sebagai ruh yang gentayangan yang kadang menampakkan dirinya, sesungguhnya makhluk yang berbuat demikian ini adalah para jin jahat yang juga dinamakan setan.
Makhluk tersebut terus-menerus menakut-nakuti manusia dengan berbagai penampilan dan tingkah laku. Allah Ta’ala memperingatkan:
“Hanyalah setan itu menakut-nakuti kalian agar kalian takut kepada para kaki tangannya. Maka dari itu, janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah hanya kepada-Ku kalau kalian memang benar-benar sebagai orang-orang yang beriman.” ( Ali Imran : 175)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa jin itu bisa menyerupakan diri dalam bentuk orang yang sudah mati sehingga orang-orang yang tidak mengerti akan menyangka bahwa si mati itu datang lagi. Ini dilakukan oleh setan itu adalah dalam rangka mempermainkan orang-orang yang bodoh dengan berbagai kedustaan. Padahal orang yang telah mati, ruh dan jasadnya tidak akan kembali ke dunia selama-lamanya. (Lihat Daqaiqut Tafsir juz 3 hal. 135 – 146)
Tentang apakah jin jahat itu bisa mengganggu manusia sehingga membuatnya sakit, gila, atau bahkan membunuhnya, semua itu bisa terjadi dengan ijin Allah Ta’ala. Cara jin mengganggu manusia sehingga berakibat sakit, gila atau membunuhnya ialah antara lain dengan dua cara:
1). Jin jahat itu menyelinap pada tubuh manusia sehingga orang itu pun kesurupan. Dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, orang yang kesurupan itu menceburkan dirinya ke sumur dan menyebabkan kematiannya. Demikian antara lain cara jin jahat mengganggu atau membunuh manusia. Dengan cara ini pula jin jahat menyakiti atau menjadi sebab orang rusak akalnya sampai gila. Yang demikian itu telah terjadi di masa Rasulullah masih hidup sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut:
Dari Ya’la bin Murrah Ats-Tsaqafi, dia menceritakan bahwa seorang wanita datang menghadap Nabi shallallahu `alaihi wa sallam . Dia datang dengan membawa anaknya yang masih kecil dan terkena penyakit gila karena kesurupan. Maka Nabi menyatakan kepada anak kecil itu: “Keluarlah engkau musuh Allah! (Wahai jin yang ada pada anak ini), aku ini adalah utusan Allah.” Berkata Al-Manhal: Maka sembuhlah anak itu dari penyakit gilanya sehingga dia menghadiahkan kepada Nabi dua ekor kambing kibas dan sepotong susu kering dan samin. Berkata Ya’la: Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan: “Ambil susu kering dan saminnya, ambil pula seekor kambingnya dan kembalikan kepadanya seekor yang lainnya.” (HR. Ahmad dalam Musnad nya jilid 4 hal. 171)
Riwayat yang semacam ini terdapat pula dalam Sunan Ibnu Majah jilid 2 hal. 1174 hadits ke 3548 dari Utsman bin Abil `Ash.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “Jin itu merasuki tubuh manusia karena tiga sebab:
a). Karena jin itu senang dengan orang tersebut sehingga masuk pada tubuh orang itu untuk bersenang-senang dengannya. Yang demikian ini paling ringan akibatnya dan paling mudah mengatasinya.
b). Karena manusia mengganggu jin itu ketika buang air kecil (kencing) mengenai mereka, atau karena menyiramkan air panas yang mengenai mereka pula, atau membunuh sebagian dari mereka, atau yang lain-lain dari bentuk-bentuk gangguan manusia kepada jin. Kesurupan yang demikian ini paling berat, dan banyak orang yang kesurupan dengan sebab ini terbunuh karenanya.
c). karena jin yang iseng (main-main dan tidak ada sebab apa-apa) sebagaimana anak manusia yang kurang akal mempermainkan orang yang dalam perjalanan jauh.” ( Daqaiqut Tafsir juz 3 hal. 137)
Dengan kenyataan demikian maka kita harus pandai-pandai melindungi diri dari gangguan jin dan satu-satunya perlindungan bagi kita adalah dzikrullah serta wirid-wirid pagi dan petang sebagaimana yang diajarkan Nabi kita.
2). Jin jahat menyerupakan dirinya sebagaimana binatang buas seperti ular dan sejenisnya. Yang demikian ini telah diberitakan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau berikut ini:
“Sesungguhnya rumah-rumah penduduk ini ada juga penghuninya dari kalangan jin. Maka bila kalian melihat daripadanya dalam bentuk ular, maka beri peringatan tiga kali. Maka bila dia pergi dengan peringatan itu, biarkanlah dia. Tetapi bila tidak pergi, maka bunuhlah dia, karena dia itu jin kafir.” (HR. Muslim dalam Shahih nya Kitabul Hayawan bab Qatlul Hayyat wa Ghairiha dari Abi Said Al-Khudri hadits no. 5801)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: Berkata para ulama: Maknanya ialah bahwa bila ular itu tidak pergi setelah diperingatkan tiga kali, kalian mendapatkan kepastian bahwa ia bukanlah jin penghuni rumahmu dan bukan jin Islam, bahkan ia adalah setan. Maka tidak ada halangan apa-apa bagi kalian dari agama. Oleh karena itu bunuhlah ia. Dan Allah tidak akan memberi peluang baginya untuk membalas kalian. Beda dengan keadaan jin penghuni rumah dan jin yang telah masuk Islam bila diperlakukan demikian. Wallahu a`lam .” ( Syarah Shahih Muslim juz 14 hal. 454).
Demikianlah dua cara jin jahat mengganggu manusia, yaitu dengan menyelinap pada tubuh manusia itu dan yang kedua dengan menyerupakan dirinya sebagai ular dan binatang berbahaya lainnya. Dan kita telah mendapatkan bimbingan dari agama untuk menghadapi kedua model gangguan jin jahat itu.
Adapun hukum bermain jelangkung yaitu menghadirkan jin dengan cara tertentu dan kemudian menanyainya berbagai masalah, maka yang demikian ini amat berbahaya bagi diri anda. Karena jin yang anda tanyai dalam apa yang dinamakan jelangkung itu tidak bisa dipastikan secara ilmiah apakah dia sebagai jin yang pantas dipercaya atau bukan. Dan anda bisa jadi diberi kabar dusta dan menyesatkan. Maka tinggalkan permainan yang mengandung resiko kesesatan dan kedustaan itu. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menasehati kita:
Adalah keindahan Islam seseorang ialah bila dia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi dalam Sunan nya)
Al Ustadz Ja’far Umar Thalib
sumber : www.alghuroba.org
2). Jika kita khawatir apabila orang sakit jiwa disebabkan oleh sesuatu yang ghaib lantas kita mencoba mengobatinya kepada seseorang yang mempunyai kemampuan supranatural. Apakah dugaan ini boleh dibenarkan dan bagaimana dengan bentuk usahanya ini, apakah diperbolehkan dalam Islam?
3). Saya mohon penjelasan tentang ruh, seperti ruh yang gentayangan yang kadang menampakkan dirinya. Apakah ruh gentayangan ini dapat mengganggu manusia seperti membuatnya jadi sakit, meninggal atau gila? Dan mengapa sampai ruh tersebut gentanyangan di dunia. Juga tentang perbuatan manusia seperti main jelangkung. Apa hukumnya?
(Chairul Rasyid)
// <![CDATA[//
Perlu saudara penanya ketahui bahwa penilaian sebagian besar masyarakat itu tidak bisa dijadikan dasar penilaian bahwa suatu perkara itu benar atau salah. Apalagi dalam perkara yang sesungguhnya adalah perkara ghaib (tidak bisa dicapai kepastiannya oleh akal atau panca indera). Karena pendapat sebagian besar masyarakat itu cenderung salah dan sesat. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Dan kalau kamu mentaati mayoritas / kebanyakan orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya mereka itu hanya mengikuti dugaan belaka dan mereka itu hanya mengira-ngira.” ( Al-An`am : 116)
Adapun apa yang dikatakan dengan kekuatan supranatural (kekuatan ghaib) yang ada pada seorang Ustadz, apalagi dikatakan bahwa “kelebihan” tampak sejak dia lahir, semua itu perlu kepastian ilmiah dan tidak cukup hanya dengan berita dari keumuman masyarakat. Sedangkan kepastian ilmiah dalam perkar gaib hanya bisa dicapai melalui dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an dan al-hadits. Sedangkan kekuatan gaib itu dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya ada dua macam:
a). Kekuatan gaib dari Allah Ta’ala. Kekuatan ini hanya diberikan kepada para wali-wali Allah atau para kekasih-Nya. Kekuatan yang demikian ini dinamakan karamah. Kekuatan gaib dalam bentuk karamah ini diberikan oleh Allah kepada para kekasih-Nya dalam saat-saat tertentu yang dikehendaki-Nya, bahkan kadang-kadang para wali Allah itu tidak menyadari adanya karamah pada dirinya. Karena memang kekuatan gaib yang muncul dalam bentuk berbagai keanehan di luar rencananya, tetapi semata-semata dalam rencana dan kehendak Allah Ta’ala.
b). Kekuatan gaib dari setan. Kekuatan gaib ini hanya pada orang-orang yang berbuat kemaksiatan, kebid’ahan dan kemusyrikan. Orang-orang yang mempunyai kekuatan demikian, dengan rencana dan keinginannya terus-menerus menampakkan berbagai keanehan itu untuk menipu manusia.
(lihat lebih lanjut uraian lengkap masalah ini dalam kitab Al-Furqan Baina Auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Juga dalam Majmu’ Fatawa beliau jilid 11 hal. 156 – 310)
Adapun kemampuan mengobati orang yang stress, ini tidak memerlukan kekuatan batin. Tetapi keahlian dan pengalaman, ketekunan serta kesabaran sebagai kemampuan utama untuk membantu upaya penyembuhan orang yang stress. Sedangkan kesembuhan itu datangnya dari Allah Ta’ala semata. Upaya penyembuhan itu adalah perkara yang diperintahkan oleh agama. Hanya saja upaya penyembuhan itu haruslah dilakukan oleh orang yang telah terbukti mempunyai kemampuan untuk itu. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah yang Maha Agung dan Maha Mulia di mana saja menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obat penawarnya. Oleh karena itu berobatlah kalian.” (HR. Ahmad dalam Musnad nya jilid 3 hal. 156 dari Anas bin Malik radliyallahu `anhu . Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan: “Sanad hadits ini baik.” (Lihat kitab beliau Ghayatul Maram hadits ke 292)
Dalam sabdanya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berobat sebagai upaya mendapatkan kesembuhan dari Allah Ta`ala.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda:
“Apabila amanah telah ditelantarkan, maka tunggu saja datangnya hari kiamat.” Ditanyakan kepada beliau: “Bagaimanakah amanah itu ditelantarkan?” beliau menjawab: “Apabila diserahkannya suatu perkara bukan kepada ahlinya, maka tunggulah datangnya kiamat.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul `Ilmi bab kedua, dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu ).
Dalam sabdanya di hadits ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memperingatkan bahwa segala sesuatu itu bila diserahkan kepada yang bukan ahlinya, akan menjadi malapetaka bagi umat ini. Termasuk pula dalam perkara pengobatan terhadap orang yang stress atau penyakit lainnya. Dan keahlian untuk mengobati orang sakit itu didapatkan melalui belajar tentangnya, tidaklah melalui kejadian tiba-tiba kemudian menjadi ahli. Sangat dikhawatirkan, keahlian yang demikian ini didapatkan melalui jalan yang tidak syar’i (yakni tidak sesuai dengan tuntunan syari’ah). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Ilmu itu dicapai hanyalah dengan belajar dan sikap tidak tergesa-gesa dalam segala perkara itu didapatkan dengan berlatih untuk bersikap demikian. Dan barangsiapa selalu mencari kebaikan, dia akan diberi kebaikan. Dan barangsiapa yang selalu menjaga diri dari kejelekan, dia akan dilindungi daripadanya.’ (HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh nya dan Ad-Daruquthni dalam Al-Afrad nya dari Abu Hurairah dan Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dari Abi Darda’. Demikianlah dinukil hadits ini dan diterangkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ul Kabir ( Jam’ul Jawami’ ) jilid 2 hal. 419 hadits ke 6363. Juga dinukil oleh Al-`Allamah Ala’uddin Al-Muttaqi bin Hasanuddin Al-Hindi dalam Kanzul Ummal jilid 10 hal. 239 hadits ke 29266)
Al-Hindi juga membawakan riwayat At-Thabrani dari Muawiyah bin Abi Sufyan dengan lafadh:
“Wahai sekalian manusia, ilmu itu dicapai hanyalah dengan belajar. Dan fiqih (pengertian) itu hanya bisa dicapai dengan belajar fiqih. Dan barangsiapa yang Allah inginkan kebaikannya, Allah jadikan dia mengerti tentang agama-Nya. Dan yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah mereka yang berilmu agama.” ( Kanzul Ummal jilid 10 hal. 239 hadits 29265)
Dari hadits-hadits ini ditegaskan kepada kita bahwa ilmu itu didapat melalui proses belajar dan bukan dengan pemberian ilmu yang tiba-tiba secara ghaib. Jadi kalau ada Ustadz yang diberitakan atau mengaku dapat ilmu mengobati orang sakit atau ilmu-ilmu lainnya tanpa proses belajar sebagaimana mestinya, maka anda harus waspada kepadanya, bisa jadi ilmunya itu dari para setan dari kalangan jin dan yang demikian ini jelas dilarang keras oleh agama. Dan berobat kepada orang yang demikian ini haram dan bila mempercayai berita-berita dia yang ghaib, amalan ibadahnya tidak diterima oleh Allah selama empat puluh hari. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam :
“Barangsiapa mendatangi orang yang dianggap punya ilmu ghaib kemudian menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang gaib kemudian membenarkannya, tidak akan diterima shalatnya empat puluh hari.” (HR. Muslim dalam Kitab Shahih nya)
‘Arraf yang disebut di hadits ini menurut keterangan Ibnul Atsir dalam kitab beliau An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar jilid 3 hal. 218 menerangkan: “ `Arraf yang disebut di hadits ini adalah tukang nujum yang mengaku punya ilmu ghaib.”
Jadi Ustadz yang diberitakan kebanyakan orang punya ilmu ghaib atau bahkan mengaku demikian itu sangat dikhawatirkan termasuk ‘ arraf yang akan merusak nilai ibadah kita.
Adapun tentang orang yang sakit jiwa, dia mestinya diobati dengan dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an padanya, serta berusaha pula membawanya ke dokter ahli jiwa untuk mendapatkan pengobatan yang cukup. Ini adalah dalam rangka menyerahkan urusan tersebut kepada ahlinya.
Kemudian, berkenaan dengan apa yang disebut sebagai ruh yang gentayangan yang kadang menampakkan dirinya, sesungguhnya makhluk yang berbuat demikian ini adalah para jin jahat yang juga dinamakan setan.
Makhluk tersebut terus-menerus menakut-nakuti manusia dengan berbagai penampilan dan tingkah laku. Allah Ta’ala memperingatkan:
“Hanyalah setan itu menakut-nakuti kalian agar kalian takut kepada para kaki tangannya. Maka dari itu, janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah hanya kepada-Ku kalau kalian memang benar-benar sebagai orang-orang yang beriman.” ( Ali Imran : 175)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa jin itu bisa menyerupakan diri dalam bentuk orang yang sudah mati sehingga orang-orang yang tidak mengerti akan menyangka bahwa si mati itu datang lagi. Ini dilakukan oleh setan itu adalah dalam rangka mempermainkan orang-orang yang bodoh dengan berbagai kedustaan. Padahal orang yang telah mati, ruh dan jasadnya tidak akan kembali ke dunia selama-lamanya. (Lihat Daqaiqut Tafsir juz 3 hal. 135 – 146)
Tentang apakah jin jahat itu bisa mengganggu manusia sehingga membuatnya sakit, gila, atau bahkan membunuhnya, semua itu bisa terjadi dengan ijin Allah Ta’ala. Cara jin mengganggu manusia sehingga berakibat sakit, gila atau membunuhnya ialah antara lain dengan dua cara:
1). Jin jahat itu menyelinap pada tubuh manusia sehingga orang itu pun kesurupan. Dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, orang yang kesurupan itu menceburkan dirinya ke sumur dan menyebabkan kematiannya. Demikian antara lain cara jin jahat mengganggu atau membunuh manusia. Dengan cara ini pula jin jahat menyakiti atau menjadi sebab orang rusak akalnya sampai gila. Yang demikian itu telah terjadi di masa Rasulullah masih hidup sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut:
Dari Ya’la bin Murrah Ats-Tsaqafi, dia menceritakan bahwa seorang wanita datang menghadap Nabi shallallahu `alaihi wa sallam . Dia datang dengan membawa anaknya yang masih kecil dan terkena penyakit gila karena kesurupan. Maka Nabi menyatakan kepada anak kecil itu: “Keluarlah engkau musuh Allah! (Wahai jin yang ada pada anak ini), aku ini adalah utusan Allah.” Berkata Al-Manhal: Maka sembuhlah anak itu dari penyakit gilanya sehingga dia menghadiahkan kepada Nabi dua ekor kambing kibas dan sepotong susu kering dan samin. Berkata Ya’la: Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan: “Ambil susu kering dan saminnya, ambil pula seekor kambingnya dan kembalikan kepadanya seekor yang lainnya.” (HR. Ahmad dalam Musnad nya jilid 4 hal. 171)
Riwayat yang semacam ini terdapat pula dalam Sunan Ibnu Majah jilid 2 hal. 1174 hadits ke 3548 dari Utsman bin Abil `Ash.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “Jin itu merasuki tubuh manusia karena tiga sebab:
a). Karena jin itu senang dengan orang tersebut sehingga masuk pada tubuh orang itu untuk bersenang-senang dengannya. Yang demikian ini paling ringan akibatnya dan paling mudah mengatasinya.
b). Karena manusia mengganggu jin itu ketika buang air kecil (kencing) mengenai mereka, atau karena menyiramkan air panas yang mengenai mereka pula, atau membunuh sebagian dari mereka, atau yang lain-lain dari bentuk-bentuk gangguan manusia kepada jin. Kesurupan yang demikian ini paling berat, dan banyak orang yang kesurupan dengan sebab ini terbunuh karenanya.
c). karena jin yang iseng (main-main dan tidak ada sebab apa-apa) sebagaimana anak manusia yang kurang akal mempermainkan orang yang dalam perjalanan jauh.” ( Daqaiqut Tafsir juz 3 hal. 137)
Dengan kenyataan demikian maka kita harus pandai-pandai melindungi diri dari gangguan jin dan satu-satunya perlindungan bagi kita adalah dzikrullah serta wirid-wirid pagi dan petang sebagaimana yang diajarkan Nabi kita.
2). Jin jahat menyerupakan dirinya sebagaimana binatang buas seperti ular dan sejenisnya. Yang demikian ini telah diberitakan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau berikut ini:
“Sesungguhnya rumah-rumah penduduk ini ada juga penghuninya dari kalangan jin. Maka bila kalian melihat daripadanya dalam bentuk ular, maka beri peringatan tiga kali. Maka bila dia pergi dengan peringatan itu, biarkanlah dia. Tetapi bila tidak pergi, maka bunuhlah dia, karena dia itu jin kafir.” (HR. Muslim dalam Shahih nya Kitabul Hayawan bab Qatlul Hayyat wa Ghairiha dari Abi Said Al-Khudri hadits no. 5801)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: Berkata para ulama: Maknanya ialah bahwa bila ular itu tidak pergi setelah diperingatkan tiga kali, kalian mendapatkan kepastian bahwa ia bukanlah jin penghuni rumahmu dan bukan jin Islam, bahkan ia adalah setan. Maka tidak ada halangan apa-apa bagi kalian dari agama. Oleh karena itu bunuhlah ia. Dan Allah tidak akan memberi peluang baginya untuk membalas kalian. Beda dengan keadaan jin penghuni rumah dan jin yang telah masuk Islam bila diperlakukan demikian. Wallahu a`lam .” ( Syarah Shahih Muslim juz 14 hal. 454).
Demikianlah dua cara jin jahat mengganggu manusia, yaitu dengan menyelinap pada tubuh manusia itu dan yang kedua dengan menyerupakan dirinya sebagai ular dan binatang berbahaya lainnya. Dan kita telah mendapatkan bimbingan dari agama untuk menghadapi kedua model gangguan jin jahat itu.
Adapun hukum bermain jelangkung yaitu menghadirkan jin dengan cara tertentu dan kemudian menanyainya berbagai masalah, maka yang demikian ini amat berbahaya bagi diri anda. Karena jin yang anda tanyai dalam apa yang dinamakan jelangkung itu tidak bisa dipastikan secara ilmiah apakah dia sebagai jin yang pantas dipercaya atau bukan. Dan anda bisa jadi diberi kabar dusta dan menyesatkan. Maka tinggalkan permainan yang mengandung resiko kesesatan dan kedustaan itu. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menasehati kita:
Adalah keindahan Islam seseorang ialah bila dia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi dalam Sunan nya)
Al Ustadz Ja’far Umar Thalib
sumber : www.alghuroba.org
Ustadz, tolong beri penjelasan tentang thoriqot shufiyyah? kapan muncul thoriqot ini? apa yang menyebabkan dakwah mereka bisa berkembang di kalangan muslimin? karena di tempat saya tinggal, keyakinan thoriqot ini telah menyebar dengan sambutan yang penuh simpatik, tolong di jawab karena jawaban Ustadz akan saya jadikan keterangan untuk mereka insya Allah. Terima kasih Jazakumullah khairon
Jawab :
Saudara penanya semoga Allah merahmati anda, tentang asal munculnya thoriqot Shufiyah, telah di terangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab beliau “Majmu’ Fatawa Jilid 11” halaman 6. Bahwa Shufiyah adalah model pengamalan agama yang dilakukan oleh seorang yang bernama Abdul Wahid bin Zayd muridnya Al Imam Al Hasan Al Bashri. Orang yang di sebutkan di sini mempunyai murid-murid dalam majlis ilmu yang sangat kuat dalam beribadah dan bersikap zuhud (yakni tidak mempunyai ambisi kepada dunia karena sibuk dengan kerinduannya kepada akhirat) dalam kehidupan serta takut melanggar larangan agama.
Menurut catatan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini, Shufiyah asalnya ialah sebagai simbul ketaatan kepada agama Allah yang sangat kuat, yang dilakukan oleh para Ulama di zaman Tabi’in dari kota Bashrah, dengan sikap zuhud dan semangat beribadah yang luar biasa berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka yang benar terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Thoriqot Shufiyah yang demikian ini di namakan “Shufiyatul Haqo’iq” (Majmu’ Fatawa Jilid 11” halaman. 18 )
Kemudian datanglah setelah itu kelompok-kelompok Ahlul Bid’ah yang menampilkan lambang-lambang zuhud dan ibadah dalam rangka menipu ummat Islam untuk menebarkan racun bid’ahnya di kalangan muslimin. Seperti Al-Hallaj yang mengkampanyekan pemahaman Hululiyah yaitu keyakinan bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan alam sehingga segala bentuk penyembahan terhadap unsur-unsur alam ini (bintang, bulan, matahari dan sebagainya) di anggap sebagai peribadatan kepada Allah Ta’ala. Pemahaman Hululiyah ini sesungguhnya berasal dari animisme yang di kemas dengan berbagai atribut-atribut keislaman.
Kemudian muncul pula tokoh-tokoh filsafat yang memakai atribut thoriqot Shufiyah dan memasukkan racun pemahamannya kepada umat Islam dengan lambang-lambang thoriqot Shufiyah seperti zuhud, waro’ dan lainnya. Maka muncul-lah dari tokoh-tokoh itu semacam Muhyiddin Ibnu ‘Arobi yang mengkampanyekan pemahaman wihdatul wujud dimana pemahaman ini membagi derajat pengamalan Islam itu dalam tiga bagian yaitu Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Dimana kalau seseorang telah mencapai derajat Hakikat berarti dia telah menyatu dengan Allah.
Pemahaman ini di ambil dari Budhisme, yakni konsep peribadatan Hindu yang di perbaharui oleh sidhartagautama yang meyakini bahwa orang yang telah mencapai tingkat hakikat Ilahiyah (ketuhanan) maka dia telah menjadi seorang Budha yang menyatu dengan Allah, pemahaman yang demikian sama kafirnya dengan pemahaman Hululiyah.
Melalui thoriqot Shufiyah ini pula di lansir berbagai bid’ah-bid’ah (kesesatan) dalam bidang Aqidah seperti Jabriyah. Yaitu pemahaman sesat yang menyatakan bahwa karena seluruh alam ini telah di taqdirkan oleh Allah Ta’ala, maka semua perbuatan makhluk mukallaf (manusia dan jin) adalah sama dengan gejala alam yang lainnya yaitu menjalankan apa saja yang di kehendaki oleh Allah. Sehingga semuanya di anggap taat kepada Allah meskipun melakukan berbagai kekafiran, kemusyrikan dan kemaksiatan karena menurut pemahaman ini semua itu hanya menjalankan kehendak Allah sebagaimana matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat. Sehingga menurut pemahaman sesat ini, syari’at Allah itu harus di kesampingkan bila orang meyakini hakikat konsep taqdir, tentu pemahaman ini sama kafirnya dengan pemahaman yang sebelumnya.
Thoriqot Shufiyah di akhir-akhir perjalanannya sampai di masa kita ini, telah jauh menyimpang dari sejarah thoriqot Shufiyah itu sendiri. Dimana gerakan thoriqot Shufiyah cenderung untuk menjauhkan ummat Islam dari keharusan tafaqquh fid diin (memahami agama) dengan proses belajar yang di namakan ta’allum (mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah dengan bimbingan guru dari kalangan Salafus Shalih). Ummat Islam di alihkan dari ilmu dengan berbagai cerita khurofat (kedustaan) dan takhayul (khayalan-khayalan) dan berbagai kejadian aneh para guru thoriqot dengan bantuan para jin melalui ilmu sihir, serta berbagai penipuan-penipuan terhadap orang-orang yang jahil tentang agamanya. Sehingga jadilah para guru thoriqot itu sebagai dukun-dukun para normal yang melayani pengikut thoriqot itu dengan ilmu-ilmu sihir. Akhirnya berkembanglah satu anggapan bahwa belajar thoriqot Shufiyah identik dengan belajar ilmu sihir atau ilmu perdukunan.
Perkembangan thoriqot Shufiyah yang demikian tentu sangat bertentangan dengan para Imam-imam thoriqot Shufiyah terdahulu seperti Junayd bin Muhammad Al Baghdadi, Sahl bin Abdullah At Tastuuri, Abu Nu’aim Al Asfahani dan para Imam yang lainnya yang mereka sangat mengingkari berbagai kebid’ahan dan selalu menganjurkan untuk berpegang dengan As Sunnah An Nabawiyah serta keharusan untuk mencapai ketaqwaan tertinggi kepada Allah dengan belajar Al Qur’an Was Sunnah dengan merujukkan pemahaman keduanya kepada Salafus Shalih dan kemudian beramal dengan ilmu tersebut.
Wallahu a’lam Bishshowab
Al Ustadz Ja’far Umar Thalib
sumber : www.alghoroba.org
Aljazair adalah salah satu negara di Afrika Utara. Aljazair dijajah oleh Prancis yang membawa budaya dan agamanya di tengah-tengah kaum muslimin yang berbahasa Arab, sehingga gerakan Prancisiasi dan kristenisasi berjalan gencar di sana . Keadaan Aljazair kurang lebih sama dengan keadaan negara-negara kaum muslimin di dunia ini yang dijajah oleh imprealisme barat.
Jum’iyah Al-Ulama Al-Muslimin Al-Jazairiyyin dan perjuangannya : Pada tahun 1931 Syaikh Abdul Hamid Badis bersama para ulama Al-Jazair lainnya mendirikan organisasi Jum’iyah Al-Ulama Al-Muslimin Al-Jazairiyyin dan berjuang untuk membangun dakwah salafiyah di Aljazair. Ide pendirian organisasi ini timbul pada tahun 1913 yang dikemukakan oleh Ibnu Badis dalam pertemuan dengan temannya dari Al Jazair yang bernama Syaikh Muhammad Basyir Al-Ibrahim. Pertemuan ini berlangsung di Madinah. Syaikh Basyir –beliau juga seorang ulama Aljazair- menceritakan bahwa rekannya –Ibnu badis- mengajak berdiskusi dengannya setiap malam setelah shalat Isya’ di masjid Nabawi. Beliau duduk di rumah Basyir sampai waktu berangkat shalat shubuh dan berjama’ah di masjid Nabawi. Demikianlah kegiatan beliau setiap malam selama tiga bulan kunjungan Ibnu Badis di Madinah. Pada saat itu keadaan di Aljazair diliputi berbagai kebodohan terhadap agama, hingga bid’ah, syirik dan berbagai penyimpangan lainnya telah membudaya di sana . Thariqat sufiyah menguasai kehidupan keagamaan di Aljazair. Syaikh Abdul Hamid Badis kemudian mengibarkan bendera dakwah salafiyah dengan menyerang ahlu bid’ah dan para penyeleweng agama dalam majlis-majlis pengajian beliau di Aljazair.
Pada tahun 1925 beliau menerbitkan majalah Al-Muntaqid, yang dengannya beliau menjelaskan manhaj salafus shalih dan membantah berbagai bid’ah yang sedang berkembang di sana . Kemudian beliau juga menerbitkan majalah Asy-Shihah. Melalui majalah ini beliau berupaya mengumpulkan dukungan berkenaan dengan upaya perbaikan umat Islam di Aljazair dengan mendirikan Al-Jum’iyah al-Ulama Al-Jazairiyyin.
Ide pendirian tersebut mendapat sambutan hangat dari para ulama seperti Syaikh Thayyib Al-Aqabi, Syaikh Mubarak Al-Milly, Syaikh Ar-Rabbiy At-Tabasiy dan lain-lain. Pada tahun 1931 melalui majalah Asy-Shihab keluarlah undangan pertemuan di Aljir (ibukota Al Jazair) pada tangga 5 mei hari Selasa bertepatan dengan tanggal 17 Dzulhijjah 1349 Hijriyah. Dalam pertemuan tersebut dibentuklah organisasi yang diberi nama Jum’iyatul Ulama Al-Jazairiyyin. Organisasi ini diketuai oleh Syaikh Abdul Hamid Badis dengan wakilnya Syaikh Muhammad Basyir Al-Ibrahim. Mereka amat gencar mendidik kader-kader dengan mendirikan madrasah-madrasah di seluruh Aljazair, menerbitkan buku-buku agama dan terus menerbitkan majalah guna menyebarkan pemahaman Sa;afus Shaleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan meng-counter berbagai pemahaman dan pengamalan bid’ah di kalangan umat Islam di Aljazair. Demikian juga mereka berjuang menghadang gerakan kristenisasi di kalangan muslimin di Aljazair. Dakwah salafiyyah hidup subur di Aljazair, sehiingga Ahlul Bid’ah merasa sangat terancam dengan dakwah ini.
Lima tahun setelah berdirinya organisasi ini Syaikh Muhammad Basyir Al-Ibrahim membentangkan program pokok organisasi ini sebagai berikut:
1. Memerangi thariqat shufiyah, karena tidak akan sempurna upaya perbaikan keadaan umat di Al Jazair selama masih adanya thariqat shufiyyah.
2. Menyebarkan upaya pengajaran di kalangan anak kecil dan orang dewasa yang terbebas dari campur tangan pemerintah Prancis.
3. Menghadang laju kristenisasi dan komunis di Aljazair. Dakwah salafiyyah di Aljazair dimulai oleh para ulama tersebut di atas, namun kemudian redup sepeninggal mereka, khususnya setelah kemerdekaan Aljazair dari Perancis.
Gerakan Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh di Aljazair : Dengan makin melemahnya dakwah salafiyah, maka tumbuhlah dakwah khalifiyyah Ikhwanul Muslimin di Aljazair. Umat Islam mulai lalai dari kewajiban menuntut ilmu Salafus Shaleh sebagaimana mereka pernah diajari oleh para ulama yang telah meninggal tersebut. Pada saat demikian mulailah tumbuh gerakan Ikhwaniyyah. Mayoritas kaum muslimin yang bodoh menyambut gembira gerakan ini, hingga mereka seolah-olah lupa terhadap dakwah salafiyyah. Bersamaan dengan ini tumbuh dan berkembang pulalah gerakan Jama’ah Tabligh dari India . Tokoh yang membawa dakwah ikhwaniyyah ini adalah seorang budayawan Aljazair yang bernama Malik bin Nabi rahimahullah. Majalah Al Bayan, London-Inggris, memuat sejarah tokoh ini yang ditulis oleh Muhammad Al-‘Abdah dari edisi Nomor 14 tahun 1409 H / 1988 M sampai dengan Nomor 23 tahun 1410 H / 1989 M.
Beberapa saat setelah perkembangan dakwah ikhwaniyyah, lahirlah dari mereka gerakan takfir (pengkafiran kaum muslimin), karena pengaruh buku-buku Sayid Qutub rahimahullah. Di samping itu Ikhwanul Muslimin akhirnya terpecah menjadi dua: satu golongan dinamakan ikhwan ‘alamiyyin yang menginduk pada Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan satu golongan lainnya dikatakan Iqlimiyyin yang berdiri sendiri terpisah dari induknya di Mesir. Golongan kedua ini dinamakan juga Ikhwanul MusliminAljaz’arah. Bersamaan dengan itu timbul pula gerakan sufiyah yang bernama Jama’ah Tabligh dari India . Kemudian ketika bangkit dakwah kaum Rafidlah (Syi’ah ekstrim) di Iran yang dipimpin oleh Khumaini, Ikhwanul Muslimin secara internasional menyambut dan mendukung revolusi ini. Termasuk pula di Aljazair, kaum Rafidlah dan dakwahnya masuk dengan sambutan yang hangat dari Ikhwanul Muslimin dengan alasan menyambut semangat revolusi Islam.
Sementara itu aqidah yang mendominasi gerakan Ikhwanul Muslimin adalah aqidah Asy-‘Ariyyah. Ikhwanul Muslimin Aljaza’rah lebih kuat semangat fanatismenya dengan Asy-‘Ariyyah ini dibandingkan dengan Ikhwanul Muslimin ‘Alamiyin.
Pada tahun 1400 H / 1979 M, tampillah seorang tokoh yang bernama Ali bin Haj atau Ali Balhaaj. Ia adalah seorang orator yang mengajarkan aqidah dengan manhaj (sistem) Asy-‘Asyariyah dan kemudian tampil dengan sedikit pemahaman salafiyah, sehingga yang ditonjolkan dalam dakwah Balhaaj ini bahwa Salafiyah ini adalah dakwah dalam bidang aqidah semata. Pada waktu itu Ali Balhaaj masih sangat keras pertentangannya dengan Abbas Madani, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin lalinnya, sementara dakwah salafiyah mulai merebak di kampus-kampus perguruan tinggi dan di masjid-masjid di Aljazair. Dakwah salafiyah ini dibawa oleh para alumni Universitas Islamiyah Madinah Nabawiyah. Akan tetapi, kemudian Ali Balhaaj ditokohkan sebagai pimpinan dakwah salafiyyah. Hal ini merupakan awal dari malapetaka atas dakwah salafiyyah di sana . Seseorang yang sangat labil dalam berpegang dengan pemahaman salafiyyah justru dipercaya memimpin dakwah yang sangat berat dan besar musuhnya. Apalagi dia amat kuat latar belakang nasionalisme, Asy-‘Ariyyah dan semangat Ikhwanul Musliminnya.
Pada tahun 1401 H / 1980 M, muncul pula tokoh lain yang cenderung kepada jihad bersenjata, yaitu Musthafa Abu Ya’la dengan kelompok barunya Al-Jama’ah Al-Islamiyyah. Kelompok ini tumbuh di Mesir dengan nama populernya Jama’atul Jihad dan menyebar hampir di seluruh negara Arab. Pada tahun itu pula terjadi demonstrasi besar-besaran di kampus Universitas Kampus Aljier yang diadakan oleh berbagai kelompok Ikhwanul Muslimin tersebut yang menuntut diterapkannya syari’at Islam di Aljazair. Pada waktu itu Al-Balhaaj menampakkan sikap tidak setuju terhadap kegiatan demonstrasi ini dengan alasan demonstrasi tidak ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan dalam perkara ini, dia benar dan menampakkan sikap salafinya, akan tetapi dalam banyak pidatonya, kemudian dia menampilkan sikap seolah-olah menyetujui kegiatan demonstrasi tersebut. Hal ini dikarenakan labilnya pemahaman dia terhadap manhaj salaf, sehingga ia hanyut dengan berbagai pidato agitasi politik. Akhirnya pemerintah menangkapnya bersama para agitator lainnya dan menjebloskan mereka ke penjara. Setelah itu dakwah di Aljazair diberangus akibat peristiwa demonstrasi dan penangkapan tersebut. Begitu pula dakwah agitasi politik terhenti dengan berbagai malapetakanya.
Dakwah Salafiyyah bangkit kembali : Dengan diberangusnya dakwah agitasi politik dan dijebloskannya para tokoh dakwah tersebut ke penjara, orang mulai menyadari betapa butuhnya umat ini akan ilmu tentang agamanya. Para dai salafiyyin kembali melancarkan upaya penyebaran ilmu agama, sehingga dengan demikian mulailah semarak di Aljazair semangat menuntut ilmu agama di masjid-masjid dan di halaqah-halaqah. Para dai salafiyin menyebarkan dakwah salafiyah dengan menyebarkan ilmu di seantero negeri yang merupakan negara terluas kedua di Afrika, sehingga semangat mencintai ilmu sangat tinggi dan meluas.
Diceritakan oleh Abdul Malik bin Ahmad bin Al-Mubarak Ramadhani Aljazair –seorang thalibul ‘ilmi- bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany hafidhahullah di Amman, Yordania dalam suatu majelis mendapat telepon dari Aljazair sebanyak lima puluh kali yang menanyakan berbagai masalah dan meminta nasihat. Penyebaran kitab-kitab ahlus sunnah semakin gencar melalui berbagai pameran kitab yang dibanjiri oleh thalibul ‘ilmi dan juga melalui pembagian kitab secara gratis dari kedutaan Saudi Arabia . Para alumnus Universitas Islam Madinah juga membawa kitab-kitab ulama ahlus sunnah sebagai rujukan. Hal ini semua semakin memperbesar penyebaran ilmu dan pemahaman salafiyyah. Akibatnya berbagai kelompok hizbiyyun terpaksa juga membuka majlis-majlis ilmu walaupun sebelumnya mereka amat sinis terhadap ilmu dan ahlul ilmu. Kaum sufiyyah semakin terjepit, sehingga mereka tidak berani lagi terang-terangan dalam menyatakan pemahaman dan keyakinannya. Kaum atheis sosialis juga semakin tidak berdaya menghadapi semangat yang amat besar dari umat Islam untuk menuntut ilmu agama.
Abdul Malik Ramadhani Aljazairi menceritakan bahwa satu majlis ilmu di masjid dihadiri oleh dua ribu orang dalam keadaan membawa kita, setiap yang hadir siap untuk belajar dengan serius. Keadaan demikian terus berlangsung sampai segenap sistem masyarakat dan negara terpengaruh olehnya. Diceritakan bahwa padasatu daerah di Aljazair sebelah barat telah dihancurkan enam puluh kubah yang dibangun di atas kubur dengan dibantu oleh para pejabat pemerintah setempat. Di kantor-kantor pemerintah ditegakkan shalat berjama’ah pada jam-jam dinas. Pemerintah menetapkan peraturan yang mewajibkan setiap kantor usaha menyediakan masjid untuk menunaikan shalat berjama’ah. Tempat-tempat museum semakin sedikit, bahkan pemerintah menghukum orang Islam yang terang-terangan tidak berpuasa di siang hari pada bulan Ramadlan dengan hukuman resmi. Di parlemen mulai diperdebatkan dengan terbuka undang-undang pelanggaran khamer, olah raga di tempat umum bagi wanita dan berbagai permasalahan yang sesuai dengan syariat Islam.
Tentara yang semula dilarang memelihara jenggot, mulai sebagian mereka menumbuhkan jenggot. Jilbab untuk muslimah semakin memasyarakat, pakaian yang melambangkan keislaman seperti jubah dan ‘imamah bagi lelaki bukan barang asing lagi. Hal ini semua adalah merupakan barakah yang Allah turunkan dengan sebab dakwah salafiyah mengajari umat ilmu tentang qur’an dan sunnah dan membangkitkan semangat beramal dengannya serta memberantas bid’ah, syirik dan kejahilan. Keadaan ini terus berlangsung selama lima tahun dan dakwah salafiyah tidak diganggu atau dikotori oleh para da’i agitator semacam Ali Balhaj, ‘Abbas Madani dan kawan-kawannya, karena mereka semua meringkuk di penjara dan orang pun mulai melupakan mereka.
Akhirnya, kaum sosialis yang memegang jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan mulai berfikir untuk membendung kemajuan dakwah salafiyah ini, karena mereka merasa sangat terancam dengan keruntuhan. Mereka paham bahwa dakwah ini tidak mungkin terbendung, kecuali dengan para tokoh singa podium yang dapat memutar arus kebangkitan Islam ke arah agitasi politik, sehingga dapat dengan mudah ditumpas oleh para musuh Islam yang tetap bercokol di jabatan-jabatan tinggi negara. Pilihan pun jatuh pada alternatif yang paling ringan resikonya bagi musuh Islam itu yaitu dengan membebaskan para tokoh agitator yang sedang meringkuk di penjara seperti Ali Balhaj dan kawan-kawannya. Ini adalah sekenario mereka dalam upayanya menghancurkan dakwah salafiyah di Aljazair. Dari sinilah bermula kembali malapetaka atas kaum muslimin di Aljazair.
Kebangkitan Kembali Dakwah Agitasi Politik
Suasana kehidupan dalam penjara bagi Ali Balhaj dan kawan-kawannya adalah suasana menumpuk kebencian dan dendam atau dalam istilah populernya adalah Barisan Sakit Hati (BSH). Semangat kebencian dan dendam semakin tinggi, karena sehari-harinya mereka melahap buku-buku karya Sayid Qutub, Hasan Al Bana, ‘Abdul Qadir ‘Audah, Muhammad Al-Ghazali rahimahumullah wa ghafarahum (semoga Allah merahmati dan mengampuni mereka). Juga buku-buku karya Doktor Yusuf Qardawi hadanallahu wa iyyahu (semoga Allah menunjuki kita dan dia). Sehingga ketika pada akhir tahun 1987 M / 1407 H, Ali Balhaj dan kawan-kawannya keluar penjara, mereka mulai bangkit kembali melancarkan dakwah agitasi politik. Abbas Madani yang semula berselisih dengan Balhaj, bersatu demi tujuan dan program yang sama. Ia, Madani adalah termasuk tokoh yang menyeru kepada persatuan Sunnah-Syi’ah sebagaimana umumnya para tokoh Ikhwanul Muslimin. Kedua orang ini segera membonceng massa dakwah salafiyah, hingga terjadilah perpecahan di antara kaum salafiyyun karena termakan oleh agitasi Balhaj Cs. Kaum salafiyyun sebenarnya banyak menyadari terjadinya penyimpangan jalannya dakwah salafiyah yang sedang dikendalikan oleh tokoh agitator ini. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya, yang termakan oleh agitasi politik lebih banyak sedangkan salafiyyin yang menyadari penyimpangan itu amat sedikit.
Majelis-majelis ilmu yang penuh dengan pengunjung dijadikan ajang pelampiasan kebencian dan dendam terhadap pemerintah. Ummat digirin menuju lubang kebinasaan yang mengerikan. Di atas mimbar-mimbar agitasi politik inilah, ilmu dan ulama Ahlus Sunnah dilecehkan. Rakyat dijejali oleh kebencian dan kecurigaan terhadap pemerintah. Sehingga yang berkembang adalah sikap emosional dan mengikuti hawa nafsu tanpa bimbingan ilmu dan manhaj yang benar. Dengan demikian, Aljazair mulai dibayangi kerusuhan dan kegoncangan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Semua ini merupakan makar kaum sosialis komunis terhadap Islam dan kaum muslimin umumnya dan terhadap dakwah salafiyyah dan salafiyyin khususnya.
Pada tahun 1989, melalui plebisit umum, pemerintah mengganti undang-undang dasar negara lama dengan undang-undang dasar baru yang diwarnai oleh liberalisme murni. Hal ini berarti memberi peluang lebih luas bagi dakwah agitasi politik, karena negara mengakui dan memberi ijin berdirinya partai-partai politik. Dengan demikian dakwah agitasi politik yang semula hanya membonceng di berbagai majelis ilmu salafiyyin sekarang mendapat kesempatan untuk tampil dengan wadah yang resmi. Dalam suasana demikian inilah berdiri partai FIS (Front Islamic de Sault) di Aljazair yang didirikan oleh Abbas Madani, Ali Balhaj, Bin Azus dan lain-lain. sementara itu Ikhwanul Muslimin Al-Iqlimiyyin membentuk Rabithah Ad-Dakwah Al-Islamiyah untuk menyatukan berbagai orpol, ormas dan golongan Islam dalam wadah perasatuan. FIS masuk dalam anggota organisasi ini yang di dalamnya bergabung berbagai golongan akidah Sunny, Asy’ari, Rafidhi, Sufi dan lain-lain. Semua golongan ini dipersatukan dengan sihir politik. Rabithah tersebut dipimpin oleh Ahmad Sahnun. Ali Balhaj pernah berkata ketika diwawancarai oleh majalah Al-Bayan, London (edisi 23 th. 1410 H / 1989 M hal. 70) dalam sebuah wawancara: “Apakah Rabithah juga dibangun di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau mereka menerima siapa saja sekalipun bukan Sunny di dalam organisasi ini?” Dia menjawab: “Kami berupaya di dalam berbagai pertemuan organisasi ini untuk menjadikan manhaj Ahlus Sunnah itu mendominasi majelis. Hanya ini yang dapat saya jawab sekarang dari pertanyaan anda.” Demikianlah jawaban diplomatis dari Ali Balhaj.
Ikhwanul Muslimin alamiyyin berkoalisi dengan partai-partai sosialis dan nasionalis. Perpecahan di kalangan salafiyyin semakin melebar, sehingga berkembang di kalangan mereka dan masyarakat, istilah salafiyah ilmiah dan salafiyah harakiyah. Pemahaman salaf yang sangat mengutamakan ilmu dan ahlul ilmi dicap sebagai salafiyah ilmiah. Sedangkan kelompok yang berpehaman dengan akidah salaf dan dakwahnya adalah pergerakan politik dinamakan salafiyah harakiyah. Demikianlah kenyataannya, dakwah salafiyah yang telah mencapai masa keemasan dan kegemilangannya diporak porandakan oleh para politikus yang berbaju salaf. Sampai di tingkat ini saja, musuh-musuh Islam telah berhasil membendung keberhasilan dakwah salafiyah melalui para agitator politik dari kalangan salafiyyin atau dengan ungkapan yang lebih tepat: Mereka adalah orang-orang yang menyusup ke dalam barisan salafiyin.
Situasi terus berlangsung, musuh Islam tidak merasa puas dengan limit keberhasilan yang telah mereka capai. Pada tahun 1412 H / 1991 M, pemilu diadakan di Aljazair yang berakhir dengan kemenangan FIS secara mutlak pada urutan pertama, sehingga presiden Jedid akhirnya dipaksa mengundurkan diri. Ketika ia mundur dari jabatannya, pihak militer mengumumkan keadaan darurat, sehingga pemilu dibatalkan dengan alasan terjadi kecurangan. Partai-partai politik diberangus dengan Undang-undang keadaan darurat.
Muhammad Bodiaf, tokoh sosialis, yang sedang berada di tempat pengasingannya di Maroko, dipulangkan ke Aljazair untuk diangkat sebagai Presiden Aljazair. Dua ratus orang aktifis FIS ditangkap dan bersamaan dengan itu muncullah sayap militer FIS yang didominasi oleh pemikiran Khawarij atau istilah lain ialah kaum reaksioner. Pembunuhan kaum muslimin yang terlibat dalam FIS dilakukan oleh pemerintah militer. Sedangkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang terlibat dengan pemerintah dilakukan oleh sayap militer FIS. Ali Balhaj dan Abbas Madani pada akhirnya tertangkap dan kembali meringkuk di penjara, karena mereka sudah tidak dibutuhkan lagi dalam upaya musuh Islam menghancurkan dakwah salafiyah. Sekarang Balhaj sudah menjadikan penjara sebagai tonggak prestasinya. Di dalam penjara, Ia membagi ulama dengan istilah ulama sujun (ulama penjara) dan ulama suhun (ulama piring nasi). Hal ini merupakan caranya menyindir ulama ahlus sunnah yang tidak menyetujui dakwah agitasi politik.
Pertumpahan darah terus berlangsung, korban jiwa mencapai ratusan bahkan ribuan, itu tidak termasuk korban luka-luka. Rakyat dicekam ketakutan dan kengerian, hingga tumbuhlah dengan subur di kalangan rakyat jelata semangat Islam Phoby (ketakutan dalam Islam). Akhirnya mayoritas rakyat takut diajari ilmu tentang Islam. Akibatnya dakwah salafiyah hampir mandek total. Dakwah agitasi politik berakhir dengan ratap tangis para janda dan yatim rakyat jelata. Dakwah tersebut meninggalkan noda di bumi Aljazair dalam bentuk air mata dan darah kaum mustadl’afin (kaum tertindas). Noda yang lebih para dari itu ialah ketakutan rakyat jelata dari dakwah Islamiyah umumnya dan dakwah salafiyah khususnya.
Kaum sufiyah yang semula tersisih di desa-desa dan tak berdaya menghadapi dakwah salafiyah, akhirnya diangkat oleh pemerintah sebagai imam-imam di masjid-masjid kota dan desa. Kubur-kubur yang dikeramatkan dan dahulu telah dihancurkan oleh du’at salafiyin, kini dibangun kembali. Dakwah salafiyah di Aljazair menurun sampai ke titik nol. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Penutup
Kisah dakwah salafiyah di Aljazair saya angkat pada kesempatan kali ini karena gejala dan bibit yang sedang tumbuh di kalangan salafiyin di negeri kita ini hampir sama dengan tahapan malapetaka yang berjalan di Aljazair. Sesungguhnya apa yang terjadi di Aljazair dan yang sedang menggeliat di Indonesia , juga terjadi di banyak negeri-negeri muslim seperti Saudi Arabia . Di sana terjadi dengan tokohnya yang bernama Muhammad bin Abdillah Al-Qahthany dan Juhaiman yang berakhir dengan pertumpahan darah yang memalukan di Masjidil Haram Mekkah Al-Mukaramah pada tahun 1979. Kemudian sekarang terjadi lagi dengan tokohnya Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin yang kemudian pindah ke Brimingham, Inggris, Dr. Safar Hawali, Salman Al-Audah, Dr. Muhammad Sa’id Al-Qahthany yang akhirnya merinkuk di penjara Saudi Arabia . Juga Dr. Nashir Al-Umar, Aidl Al-Qarny dan lain-lain.
Di Kuwait timbul gerakan serupa dengan tokoh-tokohnya Abdur Rahman Abdul Khaliq, Dr. Abdur Razaq As-Sayiji dan lain-lain. Gerakan mereka semua mempunyai modus vivendi yang sama dengan apa yang terjadi di Aljazair. Hanya di Saudi dan Kuwait lebih banyak ulama ahlus sunnah wal jama’ahnya, sehingga gerakan ini dengan pertolongan Allah dapat segera di tumpas atau paling tidak di-counter habis-habisan dan tidak sempat berakibat fatal terhadap dakwah salafiyah di sana. Sedangkan di Aljazair dan di Indonesia tidak ada ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang mumpuni, sehingga berakibat fatal dan sangat dikuatirkan di Indonesia juga nantinya berakibat fatal terhadap dakwah ahlus sunnah wal jama’ah.
Saya sebagai seorang muslim ingin menasehati segenap kaum muslimin umumnya dan segenap salafiyin pada khususnya, berhati-hatilah dari pemikiran harakiyah siyasiah (pergerakan politik) yang membonceng dakwah salafiyah. Tokoh-tokoh pergerakan ini sudah bermunculan di Indonesia dengan baju salafiyin. Buku-buku telah ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk menyebarkan pemikiran jahat ini. Pidato-pidato, studi intensif (daurah) dengan mendatangkan tokoh-tokoh mereka dari dalam maupun luar negeri terus dengan gencar dilakukan. Pesantren-pesantren, masjid-masjid didirikan di Indonesia untuk menyebarkan racun pemikiran ini. Kaum salafiyin terpecah menjadi dua kelompok pemahaman yaitu salafiyin yang merujuk kepada para ulama ahlus sunnah wal jama’ah dan salafiyin yang merujuk kepada pemikiran Abdur Rahman Abdul Khaliq, Salman Al-Audah dan lain-lain. Kaum salafiyin yang merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah dicap sebagai ahlul ghuluw (ekstrim) dan muqlidin (suka bertaklid kepada orang-perorang). Sedangkan salafiyin yang sudah teracuni pemikirannya oleh firqah harakiyah siyasiyah menamakan diri dengan salafiyin munshifin (yang adil atau inshaf).
Dengan demikian perjuangan kami adalah menyebarkan ilmu ulama ahlus sunnah wal jama’ah dan meng-counter racun-racun pemikiran harakiyah siyasiyah. Racun-racun itu adalah bid’ah yang dikemas dengan penjelasan para ulama ahlus sunnah yang dipolitisir. Kami menganggap bahwa bahaya gerakan ini lebih besar bahayanya daripada gerakan ahlul bid’ah yang sesungguhnya karena bid’ah pemikiran ini lebih samar dan tidak diketahui oleh banyak orang.
Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Khalaf Al-Barbahari yang meninggal pada tahun 329 H menasehatkan di dalam kitab beliau Syarhus Sunnah yang ditahqiq oleh Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar-Radadi pada halaman 68 dan 69 point ke-7 dan 8:
“Berhati-hatilah dari bid’ah-bid’ah yang kecil dalam perkara agama. Karena bid’ah-bid’ah yang kecil itu akan menjadi besar. Demikian pula bid’ah yang terjadi pada umat ini. semula ia adalah bid’ah kecil yang menyerupai kebenaran. Sehingga tertipu dengannya orang yang terpelosok di dalamnya. Dan setelah terperosok ia tidak dapat keluar darinya. Lalu ia terus menjadi bid’ah yang besar dan pada akhirnya menjadi agama tersendiri yang dianut. Sehingga ia pun menyelisihi Ash-Shirat Al-Mustaqim dan kemudian keluar dari Islam.”
“Maka telitilah olehmu –semoga Allah merahmatimu- semua yang engkau dengan ucapannya (tentang agama) dari orang yang sejaman denganmu khususnya, janganlah kamu tergesa-gesa masuk (mengikuti) pada suatu ucapan atau pendapat sampai kamu pertanyakan dulu apakah para shahabat Nabi pernah berkata seperti itu atau ulama (ahlul hadits) pernah menyatakan demikian. Maka jika kamu mendapatkan riwayat dari mereka (para shahabat dan ulama), segeralah kamu berpegang dengannya dan jangan melanggarnya karena suatu alasan serta jangan kamu meninggalkan pendapatnya karena ingin memilih pendapat lain. bila kamu berbuat demikian kamu akan masuk neraka!.”
sumber : www.alghoroba.org
Jum’iyah Al-Ulama Al-Muslimin Al-Jazairiyyin dan perjuangannya : Pada tahun 1931 Syaikh Abdul Hamid Badis bersama para ulama Al-Jazair lainnya mendirikan organisasi Jum’iyah Al-Ulama Al-Muslimin Al-Jazairiyyin dan berjuang untuk membangun dakwah salafiyah di Aljazair. Ide pendirian organisasi ini timbul pada tahun 1913 yang dikemukakan oleh Ibnu Badis dalam pertemuan dengan temannya dari Al Jazair yang bernama Syaikh Muhammad Basyir Al-Ibrahim. Pertemuan ini berlangsung di Madinah. Syaikh Basyir –beliau juga seorang ulama Aljazair- menceritakan bahwa rekannya –Ibnu badis- mengajak berdiskusi dengannya setiap malam setelah shalat Isya’ di masjid Nabawi. Beliau duduk di rumah Basyir sampai waktu berangkat shalat shubuh dan berjama’ah di masjid Nabawi. Demikianlah kegiatan beliau setiap malam selama tiga bulan kunjungan Ibnu Badis di Madinah. Pada saat itu keadaan di Aljazair diliputi berbagai kebodohan terhadap agama, hingga bid’ah, syirik dan berbagai penyimpangan lainnya telah membudaya di sana . Thariqat sufiyah menguasai kehidupan keagamaan di Aljazair. Syaikh Abdul Hamid Badis kemudian mengibarkan bendera dakwah salafiyah dengan menyerang ahlu bid’ah dan para penyeleweng agama dalam majlis-majlis pengajian beliau di Aljazair.
Pada tahun 1925 beliau menerbitkan majalah Al-Muntaqid, yang dengannya beliau menjelaskan manhaj salafus shalih dan membantah berbagai bid’ah yang sedang berkembang di sana . Kemudian beliau juga menerbitkan majalah Asy-Shihah. Melalui majalah ini beliau berupaya mengumpulkan dukungan berkenaan dengan upaya perbaikan umat Islam di Aljazair dengan mendirikan Al-Jum’iyah al-Ulama Al-Jazairiyyin.
Ide pendirian tersebut mendapat sambutan hangat dari para ulama seperti Syaikh Thayyib Al-Aqabi, Syaikh Mubarak Al-Milly, Syaikh Ar-Rabbiy At-Tabasiy dan lain-lain. Pada tahun 1931 melalui majalah Asy-Shihab keluarlah undangan pertemuan di Aljir (ibukota Al Jazair) pada tangga 5 mei hari Selasa bertepatan dengan tanggal 17 Dzulhijjah 1349 Hijriyah. Dalam pertemuan tersebut dibentuklah organisasi yang diberi nama Jum’iyatul Ulama Al-Jazairiyyin. Organisasi ini diketuai oleh Syaikh Abdul Hamid Badis dengan wakilnya Syaikh Muhammad Basyir Al-Ibrahim. Mereka amat gencar mendidik kader-kader dengan mendirikan madrasah-madrasah di seluruh Aljazair, menerbitkan buku-buku agama dan terus menerbitkan majalah guna menyebarkan pemahaman Sa;afus Shaleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan meng-counter berbagai pemahaman dan pengamalan bid’ah di kalangan umat Islam di Aljazair. Demikian juga mereka berjuang menghadang gerakan kristenisasi di kalangan muslimin di Aljazair. Dakwah salafiyyah hidup subur di Aljazair, sehiingga Ahlul Bid’ah merasa sangat terancam dengan dakwah ini.
Lima tahun setelah berdirinya organisasi ini Syaikh Muhammad Basyir Al-Ibrahim membentangkan program pokok organisasi ini sebagai berikut:
1. Memerangi thariqat shufiyah, karena tidak akan sempurna upaya perbaikan keadaan umat di Al Jazair selama masih adanya thariqat shufiyyah.
2. Menyebarkan upaya pengajaran di kalangan anak kecil dan orang dewasa yang terbebas dari campur tangan pemerintah Prancis.
3. Menghadang laju kristenisasi dan komunis di Aljazair. Dakwah salafiyyah di Aljazair dimulai oleh para ulama tersebut di atas, namun kemudian redup sepeninggal mereka, khususnya setelah kemerdekaan Aljazair dari Perancis.
Gerakan Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh di Aljazair : Dengan makin melemahnya dakwah salafiyah, maka tumbuhlah dakwah khalifiyyah Ikhwanul Muslimin di Aljazair. Umat Islam mulai lalai dari kewajiban menuntut ilmu Salafus Shaleh sebagaimana mereka pernah diajari oleh para ulama yang telah meninggal tersebut. Pada saat demikian mulailah tumbuh gerakan Ikhwaniyyah. Mayoritas kaum muslimin yang bodoh menyambut gembira gerakan ini, hingga mereka seolah-olah lupa terhadap dakwah salafiyyah. Bersamaan dengan ini tumbuh dan berkembang pulalah gerakan Jama’ah Tabligh dari India . Tokoh yang membawa dakwah ikhwaniyyah ini adalah seorang budayawan Aljazair yang bernama Malik bin Nabi rahimahullah. Majalah Al Bayan, London-Inggris, memuat sejarah tokoh ini yang ditulis oleh Muhammad Al-‘Abdah dari edisi Nomor 14 tahun 1409 H / 1988 M sampai dengan Nomor 23 tahun 1410 H / 1989 M.
Beberapa saat setelah perkembangan dakwah ikhwaniyyah, lahirlah dari mereka gerakan takfir (pengkafiran kaum muslimin), karena pengaruh buku-buku Sayid Qutub rahimahullah. Di samping itu Ikhwanul Muslimin akhirnya terpecah menjadi dua: satu golongan dinamakan ikhwan ‘alamiyyin yang menginduk pada Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan satu golongan lainnya dikatakan Iqlimiyyin yang berdiri sendiri terpisah dari induknya di Mesir. Golongan kedua ini dinamakan juga Ikhwanul MusliminAljaz’arah. Bersamaan dengan itu timbul pula gerakan sufiyah yang bernama Jama’ah Tabligh dari India . Kemudian ketika bangkit dakwah kaum Rafidlah (Syi’ah ekstrim) di Iran yang dipimpin oleh Khumaini, Ikhwanul Muslimin secara internasional menyambut dan mendukung revolusi ini. Termasuk pula di Aljazair, kaum Rafidlah dan dakwahnya masuk dengan sambutan yang hangat dari Ikhwanul Muslimin dengan alasan menyambut semangat revolusi Islam.
Sementara itu aqidah yang mendominasi gerakan Ikhwanul Muslimin adalah aqidah Asy-‘Ariyyah. Ikhwanul Muslimin Aljaza’rah lebih kuat semangat fanatismenya dengan Asy-‘Ariyyah ini dibandingkan dengan Ikhwanul Muslimin ‘Alamiyin.
Pada tahun 1400 H / 1979 M, tampillah seorang tokoh yang bernama Ali bin Haj atau Ali Balhaaj. Ia adalah seorang orator yang mengajarkan aqidah dengan manhaj (sistem) Asy-‘Asyariyah dan kemudian tampil dengan sedikit pemahaman salafiyah, sehingga yang ditonjolkan dalam dakwah Balhaaj ini bahwa Salafiyah ini adalah dakwah dalam bidang aqidah semata. Pada waktu itu Ali Balhaaj masih sangat keras pertentangannya dengan Abbas Madani, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin lalinnya, sementara dakwah salafiyah mulai merebak di kampus-kampus perguruan tinggi dan di masjid-masjid di Aljazair. Dakwah salafiyah ini dibawa oleh para alumni Universitas Islamiyah Madinah Nabawiyah. Akan tetapi, kemudian Ali Balhaaj ditokohkan sebagai pimpinan dakwah salafiyyah. Hal ini merupakan awal dari malapetaka atas dakwah salafiyyah di sana . Seseorang yang sangat labil dalam berpegang dengan pemahaman salafiyyah justru dipercaya memimpin dakwah yang sangat berat dan besar musuhnya. Apalagi dia amat kuat latar belakang nasionalisme, Asy-‘Ariyyah dan semangat Ikhwanul Musliminnya.
Pada tahun 1401 H / 1980 M, muncul pula tokoh lain yang cenderung kepada jihad bersenjata, yaitu Musthafa Abu Ya’la dengan kelompok barunya Al-Jama’ah Al-Islamiyyah. Kelompok ini tumbuh di Mesir dengan nama populernya Jama’atul Jihad dan menyebar hampir di seluruh negara Arab. Pada tahun itu pula terjadi demonstrasi besar-besaran di kampus Universitas Kampus Aljier yang diadakan oleh berbagai kelompok Ikhwanul Muslimin tersebut yang menuntut diterapkannya syari’at Islam di Aljazair. Pada waktu itu Al-Balhaaj menampakkan sikap tidak setuju terhadap kegiatan demonstrasi ini dengan alasan demonstrasi tidak ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan dalam perkara ini, dia benar dan menampakkan sikap salafinya, akan tetapi dalam banyak pidatonya, kemudian dia menampilkan sikap seolah-olah menyetujui kegiatan demonstrasi tersebut. Hal ini dikarenakan labilnya pemahaman dia terhadap manhaj salaf, sehingga ia hanyut dengan berbagai pidato agitasi politik. Akhirnya pemerintah menangkapnya bersama para agitator lainnya dan menjebloskan mereka ke penjara. Setelah itu dakwah di Aljazair diberangus akibat peristiwa demonstrasi dan penangkapan tersebut. Begitu pula dakwah agitasi politik terhenti dengan berbagai malapetakanya.
Dakwah Salafiyyah bangkit kembali : Dengan diberangusnya dakwah agitasi politik dan dijebloskannya para tokoh dakwah tersebut ke penjara, orang mulai menyadari betapa butuhnya umat ini akan ilmu tentang agamanya. Para dai salafiyyin kembali melancarkan upaya penyebaran ilmu agama, sehingga dengan demikian mulailah semarak di Aljazair semangat menuntut ilmu agama di masjid-masjid dan di halaqah-halaqah. Para dai salafiyin menyebarkan dakwah salafiyah dengan menyebarkan ilmu di seantero negeri yang merupakan negara terluas kedua di Afrika, sehingga semangat mencintai ilmu sangat tinggi dan meluas.
Diceritakan oleh Abdul Malik bin Ahmad bin Al-Mubarak Ramadhani Aljazair –seorang thalibul ‘ilmi- bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany hafidhahullah di Amman, Yordania dalam suatu majelis mendapat telepon dari Aljazair sebanyak lima puluh kali yang menanyakan berbagai masalah dan meminta nasihat. Penyebaran kitab-kitab ahlus sunnah semakin gencar melalui berbagai pameran kitab yang dibanjiri oleh thalibul ‘ilmi dan juga melalui pembagian kitab secara gratis dari kedutaan Saudi Arabia . Para alumnus Universitas Islam Madinah juga membawa kitab-kitab ulama ahlus sunnah sebagai rujukan. Hal ini semua semakin memperbesar penyebaran ilmu dan pemahaman salafiyyah. Akibatnya berbagai kelompok hizbiyyun terpaksa juga membuka majlis-majlis ilmu walaupun sebelumnya mereka amat sinis terhadap ilmu dan ahlul ilmu. Kaum sufiyyah semakin terjepit, sehingga mereka tidak berani lagi terang-terangan dalam menyatakan pemahaman dan keyakinannya. Kaum atheis sosialis juga semakin tidak berdaya menghadapi semangat yang amat besar dari umat Islam untuk menuntut ilmu agama.
Abdul Malik Ramadhani Aljazairi menceritakan bahwa satu majlis ilmu di masjid dihadiri oleh dua ribu orang dalam keadaan membawa kita, setiap yang hadir siap untuk belajar dengan serius. Keadaan demikian terus berlangsung sampai segenap sistem masyarakat dan negara terpengaruh olehnya. Diceritakan bahwa padasatu daerah di Aljazair sebelah barat telah dihancurkan enam puluh kubah yang dibangun di atas kubur dengan dibantu oleh para pejabat pemerintah setempat. Di kantor-kantor pemerintah ditegakkan shalat berjama’ah pada jam-jam dinas. Pemerintah menetapkan peraturan yang mewajibkan setiap kantor usaha menyediakan masjid untuk menunaikan shalat berjama’ah. Tempat-tempat museum semakin sedikit, bahkan pemerintah menghukum orang Islam yang terang-terangan tidak berpuasa di siang hari pada bulan Ramadlan dengan hukuman resmi. Di parlemen mulai diperdebatkan dengan terbuka undang-undang pelanggaran khamer, olah raga di tempat umum bagi wanita dan berbagai permasalahan yang sesuai dengan syariat Islam.
Tentara yang semula dilarang memelihara jenggot, mulai sebagian mereka menumbuhkan jenggot. Jilbab untuk muslimah semakin memasyarakat, pakaian yang melambangkan keislaman seperti jubah dan ‘imamah bagi lelaki bukan barang asing lagi. Hal ini semua adalah merupakan barakah yang Allah turunkan dengan sebab dakwah salafiyah mengajari umat ilmu tentang qur’an dan sunnah dan membangkitkan semangat beramal dengannya serta memberantas bid’ah, syirik dan kejahilan. Keadaan ini terus berlangsung selama lima tahun dan dakwah salafiyah tidak diganggu atau dikotori oleh para da’i agitator semacam Ali Balhaj, ‘Abbas Madani dan kawan-kawannya, karena mereka semua meringkuk di penjara dan orang pun mulai melupakan mereka.
Akhirnya, kaum sosialis yang memegang jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan mulai berfikir untuk membendung kemajuan dakwah salafiyah ini, karena mereka merasa sangat terancam dengan keruntuhan. Mereka paham bahwa dakwah ini tidak mungkin terbendung, kecuali dengan para tokoh singa podium yang dapat memutar arus kebangkitan Islam ke arah agitasi politik, sehingga dapat dengan mudah ditumpas oleh para musuh Islam yang tetap bercokol di jabatan-jabatan tinggi negara. Pilihan pun jatuh pada alternatif yang paling ringan resikonya bagi musuh Islam itu yaitu dengan membebaskan para tokoh agitator yang sedang meringkuk di penjara seperti Ali Balhaj dan kawan-kawannya. Ini adalah sekenario mereka dalam upayanya menghancurkan dakwah salafiyah di Aljazair. Dari sinilah bermula kembali malapetaka atas kaum muslimin di Aljazair.
Kebangkitan Kembali Dakwah Agitasi Politik
Suasana kehidupan dalam penjara bagi Ali Balhaj dan kawan-kawannya adalah suasana menumpuk kebencian dan dendam atau dalam istilah populernya adalah Barisan Sakit Hati (BSH). Semangat kebencian dan dendam semakin tinggi, karena sehari-harinya mereka melahap buku-buku karya Sayid Qutub, Hasan Al Bana, ‘Abdul Qadir ‘Audah, Muhammad Al-Ghazali rahimahumullah wa ghafarahum (semoga Allah merahmati dan mengampuni mereka). Juga buku-buku karya Doktor Yusuf Qardawi hadanallahu wa iyyahu (semoga Allah menunjuki kita dan dia). Sehingga ketika pada akhir tahun 1987 M / 1407 H, Ali Balhaj dan kawan-kawannya keluar penjara, mereka mulai bangkit kembali melancarkan dakwah agitasi politik. Abbas Madani yang semula berselisih dengan Balhaj, bersatu demi tujuan dan program yang sama. Ia, Madani adalah termasuk tokoh yang menyeru kepada persatuan Sunnah-Syi’ah sebagaimana umumnya para tokoh Ikhwanul Muslimin. Kedua orang ini segera membonceng massa dakwah salafiyah, hingga terjadilah perpecahan di antara kaum salafiyyun karena termakan oleh agitasi Balhaj Cs. Kaum salafiyyun sebenarnya banyak menyadari terjadinya penyimpangan jalannya dakwah salafiyah yang sedang dikendalikan oleh tokoh agitator ini. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya, yang termakan oleh agitasi politik lebih banyak sedangkan salafiyyin yang menyadari penyimpangan itu amat sedikit.
Majelis-majelis ilmu yang penuh dengan pengunjung dijadikan ajang pelampiasan kebencian dan dendam terhadap pemerintah. Ummat digirin menuju lubang kebinasaan yang mengerikan. Di atas mimbar-mimbar agitasi politik inilah, ilmu dan ulama Ahlus Sunnah dilecehkan. Rakyat dijejali oleh kebencian dan kecurigaan terhadap pemerintah. Sehingga yang berkembang adalah sikap emosional dan mengikuti hawa nafsu tanpa bimbingan ilmu dan manhaj yang benar. Dengan demikian, Aljazair mulai dibayangi kerusuhan dan kegoncangan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Semua ini merupakan makar kaum sosialis komunis terhadap Islam dan kaum muslimin umumnya dan terhadap dakwah salafiyyah dan salafiyyin khususnya.
Pada tahun 1989, melalui plebisit umum, pemerintah mengganti undang-undang dasar negara lama dengan undang-undang dasar baru yang diwarnai oleh liberalisme murni. Hal ini berarti memberi peluang lebih luas bagi dakwah agitasi politik, karena negara mengakui dan memberi ijin berdirinya partai-partai politik. Dengan demikian dakwah agitasi politik yang semula hanya membonceng di berbagai majelis ilmu salafiyyin sekarang mendapat kesempatan untuk tampil dengan wadah yang resmi. Dalam suasana demikian inilah berdiri partai FIS (Front Islamic de Sault) di Aljazair yang didirikan oleh Abbas Madani, Ali Balhaj, Bin Azus dan lain-lain. sementara itu Ikhwanul Muslimin Al-Iqlimiyyin membentuk Rabithah Ad-Dakwah Al-Islamiyah untuk menyatukan berbagai orpol, ormas dan golongan Islam dalam wadah perasatuan. FIS masuk dalam anggota organisasi ini yang di dalamnya bergabung berbagai golongan akidah Sunny, Asy’ari, Rafidhi, Sufi dan lain-lain. Semua golongan ini dipersatukan dengan sihir politik. Rabithah tersebut dipimpin oleh Ahmad Sahnun. Ali Balhaj pernah berkata ketika diwawancarai oleh majalah Al-Bayan, London (edisi 23 th. 1410 H / 1989 M hal. 70) dalam sebuah wawancara: “Apakah Rabithah juga dibangun di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau mereka menerima siapa saja sekalipun bukan Sunny di dalam organisasi ini?” Dia menjawab: “Kami berupaya di dalam berbagai pertemuan organisasi ini untuk menjadikan manhaj Ahlus Sunnah itu mendominasi majelis. Hanya ini yang dapat saya jawab sekarang dari pertanyaan anda.” Demikianlah jawaban diplomatis dari Ali Balhaj.
Ikhwanul Muslimin alamiyyin berkoalisi dengan partai-partai sosialis dan nasionalis. Perpecahan di kalangan salafiyyin semakin melebar, sehingga berkembang di kalangan mereka dan masyarakat, istilah salafiyah ilmiah dan salafiyah harakiyah. Pemahaman salaf yang sangat mengutamakan ilmu dan ahlul ilmi dicap sebagai salafiyah ilmiah. Sedangkan kelompok yang berpehaman dengan akidah salaf dan dakwahnya adalah pergerakan politik dinamakan salafiyah harakiyah. Demikianlah kenyataannya, dakwah salafiyah yang telah mencapai masa keemasan dan kegemilangannya diporak porandakan oleh para politikus yang berbaju salaf. Sampai di tingkat ini saja, musuh-musuh Islam telah berhasil membendung keberhasilan dakwah salafiyah melalui para agitator politik dari kalangan salafiyyin atau dengan ungkapan yang lebih tepat: Mereka adalah orang-orang yang menyusup ke dalam barisan salafiyin.
Situasi terus berlangsung, musuh Islam tidak merasa puas dengan limit keberhasilan yang telah mereka capai. Pada tahun 1412 H / 1991 M, pemilu diadakan di Aljazair yang berakhir dengan kemenangan FIS secara mutlak pada urutan pertama, sehingga presiden Jedid akhirnya dipaksa mengundurkan diri. Ketika ia mundur dari jabatannya, pihak militer mengumumkan keadaan darurat, sehingga pemilu dibatalkan dengan alasan terjadi kecurangan. Partai-partai politik diberangus dengan Undang-undang keadaan darurat.
Muhammad Bodiaf, tokoh sosialis, yang sedang berada di tempat pengasingannya di Maroko, dipulangkan ke Aljazair untuk diangkat sebagai Presiden Aljazair. Dua ratus orang aktifis FIS ditangkap dan bersamaan dengan itu muncullah sayap militer FIS yang didominasi oleh pemikiran Khawarij atau istilah lain ialah kaum reaksioner. Pembunuhan kaum muslimin yang terlibat dalam FIS dilakukan oleh pemerintah militer. Sedangkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang terlibat dengan pemerintah dilakukan oleh sayap militer FIS. Ali Balhaj dan Abbas Madani pada akhirnya tertangkap dan kembali meringkuk di penjara, karena mereka sudah tidak dibutuhkan lagi dalam upaya musuh Islam menghancurkan dakwah salafiyah. Sekarang Balhaj sudah menjadikan penjara sebagai tonggak prestasinya. Di dalam penjara, Ia membagi ulama dengan istilah ulama sujun (ulama penjara) dan ulama suhun (ulama piring nasi). Hal ini merupakan caranya menyindir ulama ahlus sunnah yang tidak menyetujui dakwah agitasi politik.
Pertumpahan darah terus berlangsung, korban jiwa mencapai ratusan bahkan ribuan, itu tidak termasuk korban luka-luka. Rakyat dicekam ketakutan dan kengerian, hingga tumbuhlah dengan subur di kalangan rakyat jelata semangat Islam Phoby (ketakutan dalam Islam). Akhirnya mayoritas rakyat takut diajari ilmu tentang Islam. Akibatnya dakwah salafiyah hampir mandek total. Dakwah agitasi politik berakhir dengan ratap tangis para janda dan yatim rakyat jelata. Dakwah tersebut meninggalkan noda di bumi Aljazair dalam bentuk air mata dan darah kaum mustadl’afin (kaum tertindas). Noda yang lebih para dari itu ialah ketakutan rakyat jelata dari dakwah Islamiyah umumnya dan dakwah salafiyah khususnya.
Kaum sufiyah yang semula tersisih di desa-desa dan tak berdaya menghadapi dakwah salafiyah, akhirnya diangkat oleh pemerintah sebagai imam-imam di masjid-masjid kota dan desa. Kubur-kubur yang dikeramatkan dan dahulu telah dihancurkan oleh du’at salafiyin, kini dibangun kembali. Dakwah salafiyah di Aljazair menurun sampai ke titik nol. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Penutup
Kisah dakwah salafiyah di Aljazair saya angkat pada kesempatan kali ini karena gejala dan bibit yang sedang tumbuh di kalangan salafiyin di negeri kita ini hampir sama dengan tahapan malapetaka yang berjalan di Aljazair. Sesungguhnya apa yang terjadi di Aljazair dan yang sedang menggeliat di Indonesia , juga terjadi di banyak negeri-negeri muslim seperti Saudi Arabia . Di sana terjadi dengan tokohnya yang bernama Muhammad bin Abdillah Al-Qahthany dan Juhaiman yang berakhir dengan pertumpahan darah yang memalukan di Masjidil Haram Mekkah Al-Mukaramah pada tahun 1979. Kemudian sekarang terjadi lagi dengan tokohnya Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin yang kemudian pindah ke Brimingham, Inggris, Dr. Safar Hawali, Salman Al-Audah, Dr. Muhammad Sa’id Al-Qahthany yang akhirnya merinkuk di penjara Saudi Arabia . Juga Dr. Nashir Al-Umar, Aidl Al-Qarny dan lain-lain.
Di Kuwait timbul gerakan serupa dengan tokoh-tokohnya Abdur Rahman Abdul Khaliq, Dr. Abdur Razaq As-Sayiji dan lain-lain. Gerakan mereka semua mempunyai modus vivendi yang sama dengan apa yang terjadi di Aljazair. Hanya di Saudi dan Kuwait lebih banyak ulama ahlus sunnah wal jama’ahnya, sehingga gerakan ini dengan pertolongan Allah dapat segera di tumpas atau paling tidak di-counter habis-habisan dan tidak sempat berakibat fatal terhadap dakwah salafiyah di sana. Sedangkan di Aljazair dan di Indonesia tidak ada ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang mumpuni, sehingga berakibat fatal dan sangat dikuatirkan di Indonesia juga nantinya berakibat fatal terhadap dakwah ahlus sunnah wal jama’ah.
Saya sebagai seorang muslim ingin menasehati segenap kaum muslimin umumnya dan segenap salafiyin pada khususnya, berhati-hatilah dari pemikiran harakiyah siyasiah (pergerakan politik) yang membonceng dakwah salafiyah. Tokoh-tokoh pergerakan ini sudah bermunculan di Indonesia dengan baju salafiyin. Buku-buku telah ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk menyebarkan pemikiran jahat ini. Pidato-pidato, studi intensif (daurah) dengan mendatangkan tokoh-tokoh mereka dari dalam maupun luar negeri terus dengan gencar dilakukan. Pesantren-pesantren, masjid-masjid didirikan di Indonesia untuk menyebarkan racun pemikiran ini. Kaum salafiyin terpecah menjadi dua kelompok pemahaman yaitu salafiyin yang merujuk kepada para ulama ahlus sunnah wal jama’ah dan salafiyin yang merujuk kepada pemikiran Abdur Rahman Abdul Khaliq, Salman Al-Audah dan lain-lain. Kaum salafiyin yang merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah dicap sebagai ahlul ghuluw (ekstrim) dan muqlidin (suka bertaklid kepada orang-perorang). Sedangkan salafiyin yang sudah teracuni pemikirannya oleh firqah harakiyah siyasiyah menamakan diri dengan salafiyin munshifin (yang adil atau inshaf).
Dengan demikian perjuangan kami adalah menyebarkan ilmu ulama ahlus sunnah wal jama’ah dan meng-counter racun-racun pemikiran harakiyah siyasiyah. Racun-racun itu adalah bid’ah yang dikemas dengan penjelasan para ulama ahlus sunnah yang dipolitisir. Kami menganggap bahwa bahaya gerakan ini lebih besar bahayanya daripada gerakan ahlul bid’ah yang sesungguhnya karena bid’ah pemikiran ini lebih samar dan tidak diketahui oleh banyak orang.
Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Khalaf Al-Barbahari yang meninggal pada tahun 329 H menasehatkan di dalam kitab beliau Syarhus Sunnah yang ditahqiq oleh Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar-Radadi pada halaman 68 dan 69 point ke-7 dan 8:
“Berhati-hatilah dari bid’ah-bid’ah yang kecil dalam perkara agama. Karena bid’ah-bid’ah yang kecil itu akan menjadi besar. Demikian pula bid’ah yang terjadi pada umat ini. semula ia adalah bid’ah kecil yang menyerupai kebenaran. Sehingga tertipu dengannya orang yang terpelosok di dalamnya. Dan setelah terperosok ia tidak dapat keluar darinya. Lalu ia terus menjadi bid’ah yang besar dan pada akhirnya menjadi agama tersendiri yang dianut. Sehingga ia pun menyelisihi Ash-Shirat Al-Mustaqim dan kemudian keluar dari Islam.”
“Maka telitilah olehmu –semoga Allah merahmatimu- semua yang engkau dengan ucapannya (tentang agama) dari orang yang sejaman denganmu khususnya, janganlah kamu tergesa-gesa masuk (mengikuti) pada suatu ucapan atau pendapat sampai kamu pertanyakan dulu apakah para shahabat Nabi pernah berkata seperti itu atau ulama (ahlul hadits) pernah menyatakan demikian. Maka jika kamu mendapatkan riwayat dari mereka (para shahabat dan ulama), segeralah kamu berpegang dengannya dan jangan melanggarnya karena suatu alasan serta jangan kamu meninggalkan pendapatnya karena ingin memilih pendapat lain. bila kamu berbuat demikian kamu akan masuk neraka!.”
Maraji’:
1. As-Siyasah baina Firasatil Mujtahidin Wa Takayyusil Murahiqin, oleh Abdullah bin Al-Mubarak Ali Khadran Al-Yamani.
2. Bundel Majalah Al-Bayan, London edisi 1-6, 7-12, 13-18, 19-24, 43-48.
3. Madarik An-Nadhr Fi As-Siyasah baina At-Tathbiqat Asy-Syar’iyyah wa Al-Infi’alat Al-Hammasiyyah, oleh Abdul Malik bin Ahmad, bin Al-Mubarak Ramadlani Al-Jazairi. Buku ini telah dibaca dan dipuji oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
4. Syarhus Sunnah, oleh Imam Al-Barbahary Tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar-Radadi
Al Ustadz Ja’far Umar Thalib 1. As-Siyasah baina Firasatil Mujtahidin Wa Takayyusil Murahiqin, oleh Abdullah bin Al-Mubarak Ali Khadran Al-Yamani.
2. Bundel Majalah Al-Bayan, London edisi 1-6, 7-12, 13-18, 19-24, 43-48.
3. Madarik An-Nadhr Fi As-Siyasah baina At-Tathbiqat Asy-Syar’iyyah wa Al-Infi’alat Al-Hammasiyyah, oleh Abdul Malik bin Ahmad, bin Al-Mubarak Ramadlani Al-Jazairi. Buku ini telah dibaca dan dipuji oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
4. Syarhus Sunnah, oleh Imam Al-Barbahary Tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar-Radadi
sumber : www.alghoroba.org
Berikut Pernyataan LUQMAN AL-BANTULY
Soal:
Siapa sebenarnya Muktazilah? Apa dan bagaimana ciri khasnya? Benarkah Hizbut Tahrir sama dengan Muktazilah? Ada apa sebenarnya di balik tuduhan Hizbut Tahrir Muktazilah?
Jawab:
Muktazilah (mu‘tazilah) secara harfiah berarti kelompok yang terisolir (i‘tizâl).1 Secara terminologis, pendapat yang paling masyhur dan kuat menyatakan bahwa istilah mu‘tazilah (muktazilah) digunakan untuk menyebut Washil bin ‘Atha’ dan para pengikutnya yang diisolir oleh gurunya, Hasan al-Bashri, akibat isu al-manzilah bayn al-manzilatayn.2 Muktazilah kadangkala disebut dengan Qadariah, karena isu al-qadr yang dikemukakan oleh mazhab ini.3
Dalam dua versi laporan Ibn al-Nadim dikatakan: Pertama, Muktazilah adalah sebutan yang diberikan oleh pengikut Hasan al-Bashri kepada Washil.4 Laporan ini populer di kalangan Ahlus Sunnah, seperti yang ditulis al-Baghdadi.5 Kedua, Muktazilah adalah sebutan yang digunakan setelah zaman Hasan al-Bashri, tepatnya oleh Qatadah (w. 117 H/738 M) untuk menyebut Amr bin Ubaid dan para pengikutnya. Amr menyatakan kepada para pengikutnya, bahwa kata i‘tizâl telah digunakan dalam al-Quran sebagai sifat yang dipuji oleh Allah sehingga nama ini mereka terima. Laporan yang terakhir inilah yang diterima oleh sumber Muktazilah, seperti yang tampak dalam statemen Abd al-Jabbar, dalam An-Nasysyâr, “Setiap kata al-i‘tizâl yang dinyatakan dalam al-Quran maksudnya adalah melepaskan diri dari kebatilan sehingga secara pasti dapat diketahui, bahwa kata al-i‘tizâl ini adalah terpuji (baik).6
Al-Baghdadi kemudian membagi Muktazilah menjadi dua puluh dua aliran: (1) Washiliyah; (2) Amrawiyah; (3) Hudhayliyah; (4) Nazzamiyyah; (5) Aswariyah; (6) Ma‘mariyah; (7) Iskafiyah; ( Ja‘fariyah; (9) Bisyriyyah; (10) Murdariyyah; (11) Hisyamiyyah; (12) Thumamiyah; (13) Jahiziyah; (14) Khabitiyah; (15) Himariyah; (16) Khayatiyah; (17) Murisiyah; (1 Syahammiyah; (19) Ka‘biyah; (20) Jubba’iyah; (21) Basyamiyah; (22) Shalihiyah. Dua dari aliran tersebut, menurut al-Baghdadi, merupakan kelompok ekstrem. Mereka adalah Khabitiyah dan Himariyah. Adapun dua puluh yang lain adalah Qadariyah murni.7
Secara umum, menurut al-Khayyath (w. 298 H), kelompok tersebut belum layak disebut Muktazilah jika tidak memenuhi lima prinsip pokok. Lima prinsip pokok tersebut, yang dikenal dengan ushul al-khamsah, adalah: tawhîd; al-‘adl (keadilan); al-wa‘d wa al-wa‘îd (janji dan ancaman); al-manzilah bayn al-manzilatayn (kedudukan di antara dua kedudukan); dan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (amar makruf dan nahi mungkar).8
Secara detail, pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tauhid: Allah Swt. adalah Zat Yang Mahaesa, Qadîm (Mahadulu), sementara selain Dia adalah baru (muhdats). Dari sini maka zat dan sifat Allah harus sama-sama Qadîm, yakni hanya satu; tidak terpisah satu sama lain. Sebab, kalau tidak, pasti akan ada dua yang Qadîm, yaitu zat dan sifat. Padahal, yang Qadîm harus satu, dan itulah Allah.9
2. Keadilan: seluruh perbuatan Allah adalah baik dan adil. Allah tidak akan melakukan perbuatan buruk dan zalim.10 Karena itulah, mereka menafikan qadar. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya (hurriyah al-iradah) dan dia akan bertanggung jawab di hadapan Allah kelak.11
3. Janji dan ancaman: Allah Maha Menepati janji dan ancaman-Nya. Janji berkaitan dengan kebaikan, seperti pahala dan surga, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan, seperti dosa dan neraka.12
4. Manzilah bayn manzilatayn (status di antara dua kedudukan): Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh disebut Mukmin atau kafir, tetapi fasik. Karena itu, status fasik merupakan kedudukan ketiga, di luar konteks iman dan kufur.13 Lanjutkan Membaca
Soal:
Siapa sebenarnya Muktazilah? Apa dan bagaimana ciri khasnya? Benarkah Hizbut Tahrir sama dengan Muktazilah? Ada apa sebenarnya di balik tuduhan Hizbut Tahrir Muktazilah?
Jawab:
Muktazilah (mu‘tazilah) secara harfiah berarti kelompok yang terisolir (i‘tizâl).1 Secara terminologis, pendapat yang paling masyhur dan kuat menyatakan bahwa istilah mu‘tazilah (muktazilah) digunakan untuk menyebut Washil bin ‘Atha’ dan para pengikutnya yang diisolir oleh gurunya, Hasan al-Bashri, akibat isu al-manzilah bayn al-manzilatayn.2 Muktazilah kadangkala disebut dengan Qadariah, karena isu al-qadr yang dikemukakan oleh mazhab ini.3
Dalam dua versi laporan Ibn al-Nadim dikatakan: Pertama, Muktazilah adalah sebutan yang diberikan oleh pengikut Hasan al-Bashri kepada Washil.4 Laporan ini populer di kalangan Ahlus Sunnah, seperti yang ditulis al-Baghdadi.5 Kedua, Muktazilah adalah sebutan yang digunakan setelah zaman Hasan al-Bashri, tepatnya oleh Qatadah (w. 117 H/738 M) untuk menyebut Amr bin Ubaid dan para pengikutnya. Amr menyatakan kepada para pengikutnya, bahwa kata i‘tizâl telah digunakan dalam al-Quran sebagai sifat yang dipuji oleh Allah sehingga nama ini mereka terima. Laporan yang terakhir inilah yang diterima oleh sumber Muktazilah, seperti yang tampak dalam statemen Abd al-Jabbar, dalam An-Nasysyâr, “Setiap kata al-i‘tizâl yang dinyatakan dalam al-Quran maksudnya adalah melepaskan diri dari kebatilan sehingga secara pasti dapat diketahui, bahwa kata al-i‘tizâl ini adalah terpuji (baik).6
Al-Baghdadi kemudian membagi Muktazilah menjadi dua puluh dua aliran: (1) Washiliyah; (2) Amrawiyah; (3) Hudhayliyah; (4) Nazzamiyyah; (5) Aswariyah; (6) Ma‘mariyah; (7) Iskafiyah; ( Ja‘fariyah; (9) Bisyriyyah; (10) Murdariyyah; (11) Hisyamiyyah; (12) Thumamiyah; (13) Jahiziyah; (14) Khabitiyah; (15) Himariyah; (16) Khayatiyah; (17) Murisiyah; (1 Syahammiyah; (19) Ka‘biyah; (20) Jubba’iyah; (21) Basyamiyah; (22) Shalihiyah. Dua dari aliran tersebut, menurut al-Baghdadi, merupakan kelompok ekstrem. Mereka adalah Khabitiyah dan Himariyah. Adapun dua puluh yang lain adalah Qadariyah murni.7
Secara umum, menurut al-Khayyath (w. 298 H), kelompok tersebut belum layak disebut Muktazilah jika tidak memenuhi lima prinsip pokok. Lima prinsip pokok tersebut, yang dikenal dengan ushul al-khamsah, adalah: tawhîd; al-‘adl (keadilan); al-wa‘d wa al-wa‘îd (janji dan ancaman); al-manzilah bayn al-manzilatayn (kedudukan di antara dua kedudukan); dan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (amar makruf dan nahi mungkar).8
Secara detail, pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tauhid: Allah Swt. adalah Zat Yang Mahaesa, Qadîm (Mahadulu), sementara selain Dia adalah baru (muhdats). Dari sini maka zat dan sifat Allah harus sama-sama Qadîm, yakni hanya satu; tidak terpisah satu sama lain. Sebab, kalau tidak, pasti akan ada dua yang Qadîm, yaitu zat dan sifat. Padahal, yang Qadîm harus satu, dan itulah Allah.9
2. Keadilan: seluruh perbuatan Allah adalah baik dan adil. Allah tidak akan melakukan perbuatan buruk dan zalim.10 Karena itulah, mereka menafikan qadar. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya (hurriyah al-iradah) dan dia akan bertanggung jawab di hadapan Allah kelak.11
3. Janji dan ancaman: Allah Maha Menepati janji dan ancaman-Nya. Janji berkaitan dengan kebaikan, seperti pahala dan surga, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan, seperti dosa dan neraka.12
4. Manzilah bayn manzilatayn (status di antara dua kedudukan): Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh disebut Mukmin atau kafir, tetapi fasik. Karena itu, status fasik merupakan kedudukan ketiga, di luar konteks iman dan kufur.13 Lanjutkan Membaca
Berikut ini pernyataan Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib yang ditranskrip dari acara bedah buku “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudra yang berlangsung di Auditorium lantai 3 FTSP Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Hadirin Sekalian yang saya muliakan dan saya cintai, saya diminta untuk berbicara dalam acara bedah buku ini mengenai buku “Aku Melawan Teroris” karya saudara kita Imam Samudera, dan ini untuk kedua kalinya, Karena bedah buku maka pembahasannya tentang isi buku ini.
Saya membaca buku ini, saya sedih dengan kenyataaan yang ada pada umat ini yaitu saudara Imam Samudera ini adalah salah satu korban dari sekian banyak korban kesalahan dalam mengambil manhaj atau thariqah yakni cara memahami Alqur’an was Sunnah. Pada halaman-halaman pertama buku ini sampai halaman 70 saya semula senang dengan pemaparan dari saudara Imam Samudera, karena yang dikatakan olehnya bahwa dia memahami Islam dengan jalan atau cara pemahaman para sahabat nabi, para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Kemudian ketika mulai membahas permasalahan-permasalahan kasus-kasus yang ada sekarang disitu saya melihat kerancuan pada diri saudra Imam Samudera penulis buku ini. Dimana rujukan dalam apa yang dia sebutkan dengan para ulama kaliber internasional dalam menempuh manhaj Salafus Shalih itu dia sebutkan disamping para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah seperti Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Syaikh Rabi Al Madkhali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Albani, kemudian disebutkan pula tokoh-tokoh seperti apa yang diistilahkan olehnya seperti Syaikh Salman bin Fahd Al Audah, Syaikh DR Safar Al Hawali dan Syaikh DR Aiman Az Zawahiri.
Dari ini saya mulai melihat adanya kerancuan pada pemahaman beliau ini karena tokoh yang disebutkan seperti Salman Bin Fahd Al Audah ini sesungguhnya salah satu tokoh bersama DR Safar Al Hawali dan tokoh-tokoh lain di Saudi yang sedang berperang melawan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tetapi mengaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Kelihatannya memang saudara Imam Samudera ini kekurangan informasi tentang pergolakan yang sedang terjadi di Saudi dari tokoh-tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seandainya saudara Imam Samudera itu sempat membaca buku karya Syaikh Rabi Bin Hadi Al Madkhali ini berjudul “Ahlul Hadits Hum At thaifah Al Manshurah An Najiah, Hiwar Ma’a Salman Al Audah” satu buku yang membongkar penyimpangan-penyimpangan Salman Al Audah dan penentangannya terhadap pemahaman Salafus Shalih maka mungkin saudara Imam Samudera akan tidak menyertakan tokoh semacam Al Audah ini sebagai tokoh-tokoh Ahlus Sunnah bersama dengan para ulama yang disebutkanya. Juga seandainya Saudara Imam Samudera membaca buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Al Mubarak Ramadhani Al Jazairi berjudul “Madarikun Nadzar Fis Siyasah Baina Tathbiqat As Syar’iah” dimana isi buku ini membongkar kedustaan-kedustaan dan pengkhianatan dari DR Safar Al Hawali dalam pemaparannya tentang berbagai kejadian, terutama perang teluk waktu itu, serangan Iraq ke Kuwait dan permintaan bantuan pemerintah Saudi ke Amerika niscaya saudara Imam Samudera tidak akan mencantumkan DR Safar Al Hawali sebagai deretan tokoh-tokoh yang dia katakan sebagai ulama Kaliber internasional yang menempuh manhaj Salafus Shalih.
Kerancuan ini tidak sesederhana yang kita duga, justru ini akan membawa kepada berbagai sikap dan kemudian dilanjutkan dengan berbagai tindakan yang disangkanya sebagai suatu amalan ibadah tertinggi yaitu jihad, tapi ternyata itu adalah perbuatan penyimpangan. Hukum-hukum yang dia sebutkan disini seperti di halaman 97 sampai halaman 100 dimana dia menyatakan hukum bahwa umat Islam ini terluka karena Al Haramain (Makkah dan Madinah) telah diduduki oleh Amerika, oleh salibis Zionis. Kemudian disejajarkan peristiwa pendudukan Al Haramain (Makkah dan Madinah) oleh Salibis Zionis dengan pendudukan Zionis terhadap Al Masjidil Aqsa di Yerusalem. Dengan dasar ini maka dia terlihat sangat kecewa dengan informasi seperti itu, dan berpijak dari informasi seperti itu diapun menyatakan kemarahan besar terhadap kekuatan-kekuatan yang menduduki Al Haramain (Makkah dan Madinah) sebagai penjajah dua tanah haram itu yaitu dalam hal ini Amerika Serikat. Maka kemudian dia juga menghukumi dengan ini para ulama yang disebutkan olehnya tadi sebagai kaliber internasoinal yang bermanhaj Salafus Shalih seperti Syaikh bin Baz dan Syaikh bin Utsaimin, dia hukumi sebagai ulama yang tidak mempunyai wawasan politik sehingga ditipu oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud untuk mengeluarkan fatwa tentang bolehnya meminta bantuan kepada Amerika Serikat, mengundang Amerika Serikat untuk menduduki kedua tanah haram tersebut.
Padahal kalau seandainya informasi yang disebutkan oleh saudara Imam Samudera disini, yakni dasar informasi dia untuk menyatakan bahwa dua tanah haram telah diduduki oleh Amerika Serikat ialah buku karya DR Safar Al Hawali buku yang berjudul “Kasyful Hummah ‘An Ulamaa’il Ummah” kalau dilihat tahunnya bagaimana Imam Samudera membaca buku dan sebagainya, kelihatanya saya lebih dulu membaca buku ini dari pada dia, wallahu A’lam. Saya ketika membaca buku ini sama perasaaanya dengan beliau, sangat kecewa dengan kenyataan tersebut. Saya sangat kecewa dengan kenyataan yang dipaparkan oleh DR Safar Al Hawali didalam buku ini dan saya juga mempunyai keyakinan seperti keyakinan Imam Samudera bahwa Al Haramain telah diduduki oleh tentara salibis Amerika Serikat. Tetapi dua tahun setelah terbitnya buku ini kemudian saya mendapatkan buku Madarikun Nadzar Karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi yang ternyata membongkar berbagai kebohongan dan kepalsuan DR Safar Al Hawali dalam informasi-informasinya itu, Masya Allah saya jadi lega luar biasa ternyata apa yang di informasikan oleh DR Safar Al Hawali tentang pendudukan Amerika terhadap Makkah dan Madinah itu adalah informasi-informasi politik atau dengan kata lain informasi-informasi bohong dan dusta. Kemudian juga saya sempat mempunyai pikiran ketika membaca buku yang dibaca oleh oleh Imam Samudera ini yaitu Safar Al Hawali dan Salman Al Audah, saya sempat mempunyai pandangan miring terhadap para ulama seperti pada Syaikh bin Baz, kenapa memberi fatwa demikian? kenapa membolehkan pemerintah Saudi meminta bantuan pasukan Amerika untuk melawan ancaman Iraq? karena itulah saya mempunyai pandangan seperti pandangan Imam Samudera bahwa ulama itu hanyalah perkara hukum haidh dan hukum nifas saja keahliannya. Seperti pandangan tokoh Mu’tazilah dalam mengejek para ulama Ahlul Hadits dimana dikatakan bahwa ulama Ahlul Hadits itu pengetahuanya hanya seputar celana dalam wanita yaitu hukum-hukum haid dan nifas. Dan ternyata omongan ini tidak terasa saya konsumsi dari tulisan-tulisan Salman Al Audah dalam Silsilatul Ghuraba.
Salman Al Audah memaparkan bahwa para ulama itu tidak mempunyai wawasan politik sama sekali jadi kalau perkara politik jangan kesana rujukannya sebaiknya kepada para politikus, sedangkan dalam perkara hukum-hukum haidh dan nifas itu kepada para ulama tersebut, persis seperti itu. Maka alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah, saya tidak menjadi korban penyimpangan dan kedustaaan informasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sedang memerangi Ahlius Sunnah wal Jama’ah seperti Safar Hawali dan Salman Al Audah ini, dan tokoh-tokoh lain seperti Aid Al Qarni atau DR Nashir Al Umari. Alhamdulillah Allah membimbing saya untuk jangan percaya kepada satu buku saja atau jangan percaya pada satu tokoh saja, hendaknya seorang untuk mengambil kesimpulan itu mencari berbagai keterangan dari berbagai tokoh terutama para ulama.
Ketika pada tahun 1996 saya berkesempatan untuk berkunjung ke Syaikh bin Baz Rahimahullah dan saya tanyakan langsung perkara ini; kenapa anda memberi fatwa bolehnya isti’anah bil kuffar (meminta pertolongan kepada orang kafir) dalam menghadapi ancaman dari Iraq waktu itu. Beliau -dengan sabar karena melihat kebodohan saya- menerangkan: “Bahwa isti’anah (minta tolong) dalam kondisi kelemahan kita kepada kekuatan kuffar ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam dan para sahabatnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam mencoba untuk hijrah ke Tha’if dan ternyata ditolak oleh penduduk Tha’if dan akhirnya kembali ke Mekkah, maka dalam kondisi bercucuran darah kaki beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam karena dilempari batu oleh penduduk Tha’if dan ini dalam kondisi selemah-lemahnya posisi; berhubung Abu Thalib telah meninggal dunia, Khadijah Bintu Khuwailid meninggal dunia, tidak ada lagi pembela bagi beliau. Maka ketika belau Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam mau masuk ke Makkah, beliau minta tolong kepada seorang musyrik yang kemudian memberikan pembelaan dan mengumumkan di Ka’bah bahwa Muhammad hari ini dibawah perlindungan saya. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam pun masuk ke Mekkah dengan sebab itu. Dan demikian pula hal ini dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, juga para Shahabat yang lainya ketika mereka hijrah pertama dari Makkah menuju ke Habasyah (Ethiopia). Dimana Raja Ethiopia adalah seorang Nashrani sehinggga dengan sebab itu adalah boleh beristi’anah (minta tolong) kepada kuffar dalam menghadapi bahaya terhadap kaum Muslimin”. Saya katakan kepada Syaikh: “Mereka minta tolong kepada orang kafir untuk menghadapi orang kafir, kenapa Syaikh anda memfatwakan bolehnya minta tolong kepada orang kafir untuk menghadapi kaum muslimin???”. Beliau juga dengan sabar melihat kebodohan saya, menjawab “Sesungguhnya kenyataan yang dilakukan kaum Muslimin di Iraq, tidak diragukan bahwa mereka adalah kaum Muslimin, tetapi mereka dibawah perintah Saddam Husain yang mempunyai pemikiran sosialis yang ekstrim, dibawah kendali seorang katoliki bernama Misyair Aflaq yang menggantung para ulama Iraq di Baghdad dan di Bashrah dan di beberapa tempat yang lainya. Dengan kenyataaan itu dan dengan qarinah yakni indikasi sepeti itu, kita melihat bahwa memang harus menghindari mafsadah yang lebih besar dengan menolak upaya Saddam Husain untuk melakukan penyerangan ke wilayah-wilayah Muslimin lainya yang sangat di khawatirkan dengan indikasi-indikasi itu tadi bahwa nasibnya kaum Muslimin diwilayah lain akan sama dengan nasib kaum Muslimin di Iraq yakni dibawah kepemimpinan Saddam Husain”. Demikian beliau membawakan tentang kaidah yang disepakati oleh para ulama dimana beliau menyatakan “apabila menghadang kita dua mafsadah atau dua kerusakan yang sama-sama rusak maka dalam kondisi demikian dipilih mana yang paling ringan dari kedua mafsadah tersebut”. Maka yang paling ringan ialah kita beristi’anah bil Kuffar (minta bantuan orang-orang kafir) dengan waktu tertentu, yaitu apabila mereka telah selesai menjalankan tugas yang kita bebankan kepadanya yaitu membantu kita untuk menolak atau memukul mundur serangan Iraq, maka mereka kita minta untuk kembali ke negerinya (jawab Syaikh Bin Baz). Saya katakan apakah itu terlaksana?, Syaikh menjawab: Ya terlaksana dan mereka pun pulang. Katanya masih ada tentara Amerika disini?. Beliau mengatakan “Tentara Amerika disini ialah perwira Amerika saja sebagai instruktur untuk memberikan bantuan-bantuan keahlian militer, kerjasama militer bagi tentara-tentara Saudi”. Jadi 120 atau berapa angka-angka yang disebutkan Safar Al Hawali itu bagaimana (imbuh Ustadz Ja’far). Syaikh menjawab “Kau Lihat apa ada tentara Amerika di jalan-jalan?”. Jadi hanya di camp militer dan itupun tidak mencapai jumlah tersebut yaitu hanya terbatas perwira-perwira tentara Amerika yang ditugaskan sebagai instruktur untuk menggunakan alat-alat militer yang di impor dari Amerika.
Maka dari ini saya melihat memang luar biasa dahsyatnya gerakan untuk membikin pemalsuan informasi tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan tentang para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kalau saudara Imam Samudera mengatakan bahwa Syaikh Bin Baz dan para Ulama itu tidak mempunyai wawasan politik sehingga ditipu oleh Raja Fahd, maka ketika saudara Imam Samudera membangga-banggakan kondisi jihad di Afghanistan waktu menghadapi Uni Soviet, sesungguhnya keberangkatan dia Ke Afghanistan itu kalau dirunut asalnya adalah merupakan salah satu daripada jasa Syaikh Bin Baz Rahimahullah yang dikatakan oleh dia sebagai ulama Qa’idin yang tidak ikut perang.
Syaikh Bin Baz adalah ulama yang pertama yang melancarkan internasionalisasi jihad di Afghanistan melawan Uni Soviet, Syaikh menyatakan bahwa menolong kaum kaum Muslimin di Afghanistan adalah Jihad fii Sabilillah, maka berduyun-duyun seluruh kaum Muslimin berrangkat kesana pada waktu itu dan bantuan kaum Muslimin terutama dari negara-negara teluk yakni kaum Muslimin penduduk negara-negara teluk yaitu negara-negara Arab di sekitar teluk. Demikian besarnya ke Jihad Afghanistan adalah dengan fatwa dari Syaikh Bin Baz Rahimahullah.
Ketika Imam Samudera masih di alam arwah belum masuk kerahim ibunya, Syaikh Bin Baz ketika masih dalam usia 10 tahun sudah berjihad melawan kekuatan-kekuatan Inggris di Saudi, ketika kekutan Inggris mau menduduki Najd. Dan terjadi perlawanan kaum Muslimin disana Syaikh Bin Baz termasuk daripada yang melawan tentara Inggris itu, ketika Imam Samudera masih di alam arwah.
Jadi kemudian dalam pembahasan berikutnya yang saya lihat didalam buku ini dimana Imam Samudera membeberkan tentang apa yang diistilahkan dengan bom Syahid atau bom bunuh diri. Dia disini menggambarkan adanya perselisihan para ulama dan kemudian dia membikin kategori Ulama Ahlits Tsughuur dan ulama Al Qa’idin. Ulama Ahlis Tsughuur menurut dia ialah ulama yang ada di medan tempur, menyaksikan dan merasakan berbagai problema pertempuran di medan perang. Kemudian ulama Al Qai’diin yaitu ulama yang duduk-duduk saja, yang hanya membaca kitab-kitab fiqh. Dalam kategori kedua ini, Imam Samudera menggolongkan Syaikh Bin Baz dan para Ulama internasional yang bermanhaj salaf adalah termasuk kategori Ulama Al Qa’idin, yakni Ulama yang duduk-duduk saja yang tidak mengerti medan jihad yang sesungguhnya, karena hanya duduk-duduk saja. Sedangkan yang dikategorikan ulama Ahlits Tsughuur ialah dia sebutkan termasuk dari padanya ialah Syaikh Usamah Bin Ladn dan Syaikh Aiman Az Zawahiri, yang kedua-duanya bukan ulama. Usamah Bin Ladn sesungguhnya bukan ulama dan tidak mempunyai latar belakang keilmuan tentang Islam sama sekali, dan dia adalah seorang insinyur, termasuk Aiman Az Zawahiri adalah ahli kimia. Mereka bukan ulama Islam dan tidak mempunyai latar belakang keilmuan dalam hal syariah Islamiyyah, ini yang di kategorikan Imam Samudera sebagai Ulama Ahlits Tsughuur.
Kemudian Imam Samudera menukil omongan Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah, dia sebutkan bahwa Al Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah telah menyatakan: “Jika kalian menyaksikan manusia berselisih, maka hendaklah kalian mengikuti pendapat mujahidin dan Ahlits Tsughuur, karena sesungguhnya Allah berfirman Allah benar-benar memberi mereka hidayah Wal ladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subulana “dan mereka yang berjihad dijalan Kami maka mereka itu akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami”. Rupanya dari pembahasan Imam Samudera ini yang dikategorikan Ahli Tsughuur ialah semua mereka yang ada di medan jihad. Sedangkan persyaratan untuk merujuk kepada Ahlits Tsughuur didalam Islam ialah ilmu bukan terminologi. Ilmu tentang Al Kitab Was Sunnah ini persyaratan utama dan pertama untuk kita merujuk kepadanya didalam memahami Islam dan juga meskipun demikian ulama yang siapapun, dam setinggi apapun tidaklah akan bisa kemudian sejajar fatwanya itu dengan Al Qur’an dan Al Hadits, sama sekali tidak bisa, karena tidak termasuk dalil agama.
Keterangan ulama itu bukan dalil, yang dinamakan dalil hanya Al Qur’an Was Sunnah. Keterangan ulama hanya membantu kita memahami dalil, sehingga Imam Malik Rahimahullah menasehatkan kepada kita “Semua omongan siapapun bisa diambil dan bisa ditolak kecuali omongan orang ini sambil menunjuk kepada kuburan Rasulullah Shalallahu alaihi wa alihi wasallam”. Kecuali omongan penghuni kubur ini yaitu omongan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam. Kalau memang itu secara ilmiah dapat dipastikan sebagai omongan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam maka omongan itu tidak bisa ditolak.
Jadi kalau semua yang dimedan perang itu dikatakan ulama Ahlits Tsughuur dan menjadi rujukan didalam memutuskan halal dan haramnya sesuatu, ini adalah akan menjadi sumber kerancuan fitnah dalam agama. Sehingga timbul fatwa apa yang didistilahkan bom bunuh diri atau kemudian diistilahkan oleh moderator tadi bom isytisyhad; sesungguhnya ya setali tiga uang, hanya permainan kata saja untuk menghibur orang supaya tidak curiga dengan fatwa bom bunuh diri itu. Sesungguhnya ya bunuh diri juga, dimana dalam definisi Syari’ah bahwa bunuh diri itu ialah menceburkan diri didalam kematian dengan sengaja.
Maka semua orang boleh berkata apa saja yang dia mau, tetapi tanggung jawabnya di Yaumil Qiyamah nanti tentang fatwa-fatwa agama ini, sungguh dia akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan mereka yang cuma ikut-ikutan dalam beragama, sungguh mereka akan menyesal dalam hidupnya nanti di akhirat. Allah berfirman: “Jangan kamu ikut apa yang kamu tidak ada ilmu padanya karena sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan akal pikiranmu (itu adalah nikmat Allah) yang Allah akan mintai pertanggung jawabanya nanti di Yaumil Qiyamah”.
Jadi dalam perkara agama ini jangan main-main dan saya sedih melihat kenyataan ini dan kelihatanya saudara Imam Samudera ini sesungguhnya ingin bermanhaj atau merujuk kepada pemahaman Salafus Shalih yakni pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tapi sayang akibat emosi yang tidak didukung dengan ilmu maka menjerumuskan dia kepada berbagai penyimpangan-penyimpangan pemahaman yang demikian parah dan inilah sesungguhnya bukti bahwa dosa terbesar itu ialah ketika orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengan ilmunya atau orang yang beramal tetapi tidak didasarkan amalnya itu atas ilmu, wallahu a’lamu bis shawab.
sumber : www.alghoroba.org
Hadirin Sekalian yang saya muliakan dan saya cintai, saya diminta untuk berbicara dalam acara bedah buku ini mengenai buku “Aku Melawan Teroris” karya saudara kita Imam Samudera, dan ini untuk kedua kalinya, Karena bedah buku maka pembahasannya tentang isi buku ini.
Saya membaca buku ini, saya sedih dengan kenyataaan yang ada pada umat ini yaitu saudara Imam Samudera ini adalah salah satu korban dari sekian banyak korban kesalahan dalam mengambil manhaj atau thariqah yakni cara memahami Alqur’an was Sunnah. Pada halaman-halaman pertama buku ini sampai halaman 70 saya semula senang dengan pemaparan dari saudara Imam Samudera, karena yang dikatakan olehnya bahwa dia memahami Islam dengan jalan atau cara pemahaman para sahabat nabi, para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Kemudian ketika mulai membahas permasalahan-permasalahan kasus-kasus yang ada sekarang disitu saya melihat kerancuan pada diri saudra Imam Samudera penulis buku ini. Dimana rujukan dalam apa yang dia sebutkan dengan para ulama kaliber internasional dalam menempuh manhaj Salafus Shalih itu dia sebutkan disamping para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah seperti Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Syaikh Rabi Al Madkhali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Albani, kemudian disebutkan pula tokoh-tokoh seperti apa yang diistilahkan olehnya seperti Syaikh Salman bin Fahd Al Audah, Syaikh DR Safar Al Hawali dan Syaikh DR Aiman Az Zawahiri.
Dari ini saya mulai melihat adanya kerancuan pada pemahaman beliau ini karena tokoh yang disebutkan seperti Salman Bin Fahd Al Audah ini sesungguhnya salah satu tokoh bersama DR Safar Al Hawali dan tokoh-tokoh lain di Saudi yang sedang berperang melawan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tetapi mengaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Kelihatannya memang saudara Imam Samudera ini kekurangan informasi tentang pergolakan yang sedang terjadi di Saudi dari tokoh-tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seandainya saudara Imam Samudera itu sempat membaca buku karya Syaikh Rabi Bin Hadi Al Madkhali ini berjudul “Ahlul Hadits Hum At thaifah Al Manshurah An Najiah, Hiwar Ma’a Salman Al Audah” satu buku yang membongkar penyimpangan-penyimpangan Salman Al Audah dan penentangannya terhadap pemahaman Salafus Shalih maka mungkin saudara Imam Samudera akan tidak menyertakan tokoh semacam Al Audah ini sebagai tokoh-tokoh Ahlus Sunnah bersama dengan para ulama yang disebutkanya. Juga seandainya Saudara Imam Samudera membaca buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Al Mubarak Ramadhani Al Jazairi berjudul “Madarikun Nadzar Fis Siyasah Baina Tathbiqat As Syar’iah” dimana isi buku ini membongkar kedustaan-kedustaan dan pengkhianatan dari DR Safar Al Hawali dalam pemaparannya tentang berbagai kejadian, terutama perang teluk waktu itu, serangan Iraq ke Kuwait dan permintaan bantuan pemerintah Saudi ke Amerika niscaya saudara Imam Samudera tidak akan mencantumkan DR Safar Al Hawali sebagai deretan tokoh-tokoh yang dia katakan sebagai ulama Kaliber internasional yang menempuh manhaj Salafus Shalih.
Kerancuan ini tidak sesederhana yang kita duga, justru ini akan membawa kepada berbagai sikap dan kemudian dilanjutkan dengan berbagai tindakan yang disangkanya sebagai suatu amalan ibadah tertinggi yaitu jihad, tapi ternyata itu adalah perbuatan penyimpangan. Hukum-hukum yang dia sebutkan disini seperti di halaman 97 sampai halaman 100 dimana dia menyatakan hukum bahwa umat Islam ini terluka karena Al Haramain (Makkah dan Madinah) telah diduduki oleh Amerika, oleh salibis Zionis. Kemudian disejajarkan peristiwa pendudukan Al Haramain (Makkah dan Madinah) oleh Salibis Zionis dengan pendudukan Zionis terhadap Al Masjidil Aqsa di Yerusalem. Dengan dasar ini maka dia terlihat sangat kecewa dengan informasi seperti itu, dan berpijak dari informasi seperti itu diapun menyatakan kemarahan besar terhadap kekuatan-kekuatan yang menduduki Al Haramain (Makkah dan Madinah) sebagai penjajah dua tanah haram itu yaitu dalam hal ini Amerika Serikat. Maka kemudian dia juga menghukumi dengan ini para ulama yang disebutkan olehnya tadi sebagai kaliber internasoinal yang bermanhaj Salafus Shalih seperti Syaikh bin Baz dan Syaikh bin Utsaimin, dia hukumi sebagai ulama yang tidak mempunyai wawasan politik sehingga ditipu oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud untuk mengeluarkan fatwa tentang bolehnya meminta bantuan kepada Amerika Serikat, mengundang Amerika Serikat untuk menduduki kedua tanah haram tersebut.
Padahal kalau seandainya informasi yang disebutkan oleh saudara Imam Samudera disini, yakni dasar informasi dia untuk menyatakan bahwa dua tanah haram telah diduduki oleh Amerika Serikat ialah buku karya DR Safar Al Hawali buku yang berjudul “Kasyful Hummah ‘An Ulamaa’il Ummah” kalau dilihat tahunnya bagaimana Imam Samudera membaca buku dan sebagainya, kelihatanya saya lebih dulu membaca buku ini dari pada dia, wallahu A’lam. Saya ketika membaca buku ini sama perasaaanya dengan beliau, sangat kecewa dengan kenyataan tersebut. Saya sangat kecewa dengan kenyataan yang dipaparkan oleh DR Safar Al Hawali didalam buku ini dan saya juga mempunyai keyakinan seperti keyakinan Imam Samudera bahwa Al Haramain telah diduduki oleh tentara salibis Amerika Serikat. Tetapi dua tahun setelah terbitnya buku ini kemudian saya mendapatkan buku Madarikun Nadzar Karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi yang ternyata membongkar berbagai kebohongan dan kepalsuan DR Safar Al Hawali dalam informasi-informasinya itu, Masya Allah saya jadi lega luar biasa ternyata apa yang di informasikan oleh DR Safar Al Hawali tentang pendudukan Amerika terhadap Makkah dan Madinah itu adalah informasi-informasi politik atau dengan kata lain informasi-informasi bohong dan dusta. Kemudian juga saya sempat mempunyai pikiran ketika membaca buku yang dibaca oleh oleh Imam Samudera ini yaitu Safar Al Hawali dan Salman Al Audah, saya sempat mempunyai pandangan miring terhadap para ulama seperti pada Syaikh bin Baz, kenapa memberi fatwa demikian? kenapa membolehkan pemerintah Saudi meminta bantuan pasukan Amerika untuk melawan ancaman Iraq? karena itulah saya mempunyai pandangan seperti pandangan Imam Samudera bahwa ulama itu hanyalah perkara hukum haidh dan hukum nifas saja keahliannya. Seperti pandangan tokoh Mu’tazilah dalam mengejek para ulama Ahlul Hadits dimana dikatakan bahwa ulama Ahlul Hadits itu pengetahuanya hanya seputar celana dalam wanita yaitu hukum-hukum haid dan nifas. Dan ternyata omongan ini tidak terasa saya konsumsi dari tulisan-tulisan Salman Al Audah dalam Silsilatul Ghuraba.
Salman Al Audah memaparkan bahwa para ulama itu tidak mempunyai wawasan politik sama sekali jadi kalau perkara politik jangan kesana rujukannya sebaiknya kepada para politikus, sedangkan dalam perkara hukum-hukum haidh dan nifas itu kepada para ulama tersebut, persis seperti itu. Maka alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah, saya tidak menjadi korban penyimpangan dan kedustaaan informasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sedang memerangi Ahlius Sunnah wal Jama’ah seperti Safar Hawali dan Salman Al Audah ini, dan tokoh-tokoh lain seperti Aid Al Qarni atau DR Nashir Al Umari. Alhamdulillah Allah membimbing saya untuk jangan percaya kepada satu buku saja atau jangan percaya pada satu tokoh saja, hendaknya seorang untuk mengambil kesimpulan itu mencari berbagai keterangan dari berbagai tokoh terutama para ulama.
Ketika pada tahun 1996 saya berkesempatan untuk berkunjung ke Syaikh bin Baz Rahimahullah dan saya tanyakan langsung perkara ini; kenapa anda memberi fatwa bolehnya isti’anah bil kuffar (meminta pertolongan kepada orang kafir) dalam menghadapi ancaman dari Iraq waktu itu. Beliau -dengan sabar karena melihat kebodohan saya- menerangkan: “Bahwa isti’anah (minta tolong) dalam kondisi kelemahan kita kepada kekuatan kuffar ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam dan para sahabatnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam mencoba untuk hijrah ke Tha’if dan ternyata ditolak oleh penduduk Tha’if dan akhirnya kembali ke Mekkah, maka dalam kondisi bercucuran darah kaki beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam karena dilempari batu oleh penduduk Tha’if dan ini dalam kondisi selemah-lemahnya posisi; berhubung Abu Thalib telah meninggal dunia, Khadijah Bintu Khuwailid meninggal dunia, tidak ada lagi pembela bagi beliau. Maka ketika belau Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam mau masuk ke Makkah, beliau minta tolong kepada seorang musyrik yang kemudian memberikan pembelaan dan mengumumkan di Ka’bah bahwa Muhammad hari ini dibawah perlindungan saya. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam pun masuk ke Mekkah dengan sebab itu. Dan demikian pula hal ini dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, juga para Shahabat yang lainya ketika mereka hijrah pertama dari Makkah menuju ke Habasyah (Ethiopia). Dimana Raja Ethiopia adalah seorang Nashrani sehinggga dengan sebab itu adalah boleh beristi’anah (minta tolong) kepada kuffar dalam menghadapi bahaya terhadap kaum Muslimin”. Saya katakan kepada Syaikh: “Mereka minta tolong kepada orang kafir untuk menghadapi orang kafir, kenapa Syaikh anda memfatwakan bolehnya minta tolong kepada orang kafir untuk menghadapi kaum muslimin???”. Beliau juga dengan sabar melihat kebodohan saya, menjawab “Sesungguhnya kenyataan yang dilakukan kaum Muslimin di Iraq, tidak diragukan bahwa mereka adalah kaum Muslimin, tetapi mereka dibawah perintah Saddam Husain yang mempunyai pemikiran sosialis yang ekstrim, dibawah kendali seorang katoliki bernama Misyair Aflaq yang menggantung para ulama Iraq di Baghdad dan di Bashrah dan di beberapa tempat yang lainya. Dengan kenyataaan itu dan dengan qarinah yakni indikasi sepeti itu, kita melihat bahwa memang harus menghindari mafsadah yang lebih besar dengan menolak upaya Saddam Husain untuk melakukan penyerangan ke wilayah-wilayah Muslimin lainya yang sangat di khawatirkan dengan indikasi-indikasi itu tadi bahwa nasibnya kaum Muslimin diwilayah lain akan sama dengan nasib kaum Muslimin di Iraq yakni dibawah kepemimpinan Saddam Husain”. Demikian beliau membawakan tentang kaidah yang disepakati oleh para ulama dimana beliau menyatakan “apabila menghadang kita dua mafsadah atau dua kerusakan yang sama-sama rusak maka dalam kondisi demikian dipilih mana yang paling ringan dari kedua mafsadah tersebut”. Maka yang paling ringan ialah kita beristi’anah bil Kuffar (minta bantuan orang-orang kafir) dengan waktu tertentu, yaitu apabila mereka telah selesai menjalankan tugas yang kita bebankan kepadanya yaitu membantu kita untuk menolak atau memukul mundur serangan Iraq, maka mereka kita minta untuk kembali ke negerinya (jawab Syaikh Bin Baz). Saya katakan apakah itu terlaksana?, Syaikh menjawab: Ya terlaksana dan mereka pun pulang. Katanya masih ada tentara Amerika disini?. Beliau mengatakan “Tentara Amerika disini ialah perwira Amerika saja sebagai instruktur untuk memberikan bantuan-bantuan keahlian militer, kerjasama militer bagi tentara-tentara Saudi”. Jadi 120 atau berapa angka-angka yang disebutkan Safar Al Hawali itu bagaimana (imbuh Ustadz Ja’far). Syaikh menjawab “Kau Lihat apa ada tentara Amerika di jalan-jalan?”. Jadi hanya di camp militer dan itupun tidak mencapai jumlah tersebut yaitu hanya terbatas perwira-perwira tentara Amerika yang ditugaskan sebagai instruktur untuk menggunakan alat-alat militer yang di impor dari Amerika.
Maka dari ini saya melihat memang luar biasa dahsyatnya gerakan untuk membikin pemalsuan informasi tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan tentang para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kalau saudara Imam Samudera mengatakan bahwa Syaikh Bin Baz dan para Ulama itu tidak mempunyai wawasan politik sehingga ditipu oleh Raja Fahd, maka ketika saudara Imam Samudera membangga-banggakan kondisi jihad di Afghanistan waktu menghadapi Uni Soviet, sesungguhnya keberangkatan dia Ke Afghanistan itu kalau dirunut asalnya adalah merupakan salah satu daripada jasa Syaikh Bin Baz Rahimahullah yang dikatakan oleh dia sebagai ulama Qa’idin yang tidak ikut perang.
Syaikh Bin Baz adalah ulama yang pertama yang melancarkan internasionalisasi jihad di Afghanistan melawan Uni Soviet, Syaikh menyatakan bahwa menolong kaum kaum Muslimin di Afghanistan adalah Jihad fii Sabilillah, maka berduyun-duyun seluruh kaum Muslimin berrangkat kesana pada waktu itu dan bantuan kaum Muslimin terutama dari negara-negara teluk yakni kaum Muslimin penduduk negara-negara teluk yaitu negara-negara Arab di sekitar teluk. Demikian besarnya ke Jihad Afghanistan adalah dengan fatwa dari Syaikh Bin Baz Rahimahullah.
Ketika Imam Samudera masih di alam arwah belum masuk kerahim ibunya, Syaikh Bin Baz ketika masih dalam usia 10 tahun sudah berjihad melawan kekuatan-kekuatan Inggris di Saudi, ketika kekutan Inggris mau menduduki Najd. Dan terjadi perlawanan kaum Muslimin disana Syaikh Bin Baz termasuk daripada yang melawan tentara Inggris itu, ketika Imam Samudera masih di alam arwah.
Jadi kemudian dalam pembahasan berikutnya yang saya lihat didalam buku ini dimana Imam Samudera membeberkan tentang apa yang diistilahkan dengan bom Syahid atau bom bunuh diri. Dia disini menggambarkan adanya perselisihan para ulama dan kemudian dia membikin kategori Ulama Ahlits Tsughuur dan ulama Al Qa’idin. Ulama Ahlis Tsughuur menurut dia ialah ulama yang ada di medan tempur, menyaksikan dan merasakan berbagai problema pertempuran di medan perang. Kemudian ulama Al Qai’diin yaitu ulama yang duduk-duduk saja, yang hanya membaca kitab-kitab fiqh. Dalam kategori kedua ini, Imam Samudera menggolongkan Syaikh Bin Baz dan para Ulama internasional yang bermanhaj salaf adalah termasuk kategori Ulama Al Qa’idin, yakni Ulama yang duduk-duduk saja yang tidak mengerti medan jihad yang sesungguhnya, karena hanya duduk-duduk saja. Sedangkan yang dikategorikan ulama Ahlits Tsughuur ialah dia sebutkan termasuk dari padanya ialah Syaikh Usamah Bin Ladn dan Syaikh Aiman Az Zawahiri, yang kedua-duanya bukan ulama. Usamah Bin Ladn sesungguhnya bukan ulama dan tidak mempunyai latar belakang keilmuan tentang Islam sama sekali, dan dia adalah seorang insinyur, termasuk Aiman Az Zawahiri adalah ahli kimia. Mereka bukan ulama Islam dan tidak mempunyai latar belakang keilmuan dalam hal syariah Islamiyyah, ini yang di kategorikan Imam Samudera sebagai Ulama Ahlits Tsughuur.
Kemudian Imam Samudera menukil omongan Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah, dia sebutkan bahwa Al Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah telah menyatakan: “Jika kalian menyaksikan manusia berselisih, maka hendaklah kalian mengikuti pendapat mujahidin dan Ahlits Tsughuur, karena sesungguhnya Allah berfirman Allah benar-benar memberi mereka hidayah Wal ladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subulana “dan mereka yang berjihad dijalan Kami maka mereka itu akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami”. Rupanya dari pembahasan Imam Samudera ini yang dikategorikan Ahli Tsughuur ialah semua mereka yang ada di medan jihad. Sedangkan persyaratan untuk merujuk kepada Ahlits Tsughuur didalam Islam ialah ilmu bukan terminologi. Ilmu tentang Al Kitab Was Sunnah ini persyaratan utama dan pertama untuk kita merujuk kepadanya didalam memahami Islam dan juga meskipun demikian ulama yang siapapun, dam setinggi apapun tidaklah akan bisa kemudian sejajar fatwanya itu dengan Al Qur’an dan Al Hadits, sama sekali tidak bisa, karena tidak termasuk dalil agama.
Keterangan ulama itu bukan dalil, yang dinamakan dalil hanya Al Qur’an Was Sunnah. Keterangan ulama hanya membantu kita memahami dalil, sehingga Imam Malik Rahimahullah menasehatkan kepada kita “Semua omongan siapapun bisa diambil dan bisa ditolak kecuali omongan orang ini sambil menunjuk kepada kuburan Rasulullah Shalallahu alaihi wa alihi wasallam”. Kecuali omongan penghuni kubur ini yaitu omongan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam. Kalau memang itu secara ilmiah dapat dipastikan sebagai omongan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam maka omongan itu tidak bisa ditolak.
Jadi kalau semua yang dimedan perang itu dikatakan ulama Ahlits Tsughuur dan menjadi rujukan didalam memutuskan halal dan haramnya sesuatu, ini adalah akan menjadi sumber kerancuan fitnah dalam agama. Sehingga timbul fatwa apa yang didistilahkan bom bunuh diri atau kemudian diistilahkan oleh moderator tadi bom isytisyhad; sesungguhnya ya setali tiga uang, hanya permainan kata saja untuk menghibur orang supaya tidak curiga dengan fatwa bom bunuh diri itu. Sesungguhnya ya bunuh diri juga, dimana dalam definisi Syari’ah bahwa bunuh diri itu ialah menceburkan diri didalam kematian dengan sengaja.
Maka semua orang boleh berkata apa saja yang dia mau, tetapi tanggung jawabnya di Yaumil Qiyamah nanti tentang fatwa-fatwa agama ini, sungguh dia akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan mereka yang cuma ikut-ikutan dalam beragama, sungguh mereka akan menyesal dalam hidupnya nanti di akhirat. Allah berfirman: “Jangan kamu ikut apa yang kamu tidak ada ilmu padanya karena sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan akal pikiranmu (itu adalah nikmat Allah) yang Allah akan mintai pertanggung jawabanya nanti di Yaumil Qiyamah”.
Jadi dalam perkara agama ini jangan main-main dan saya sedih melihat kenyataan ini dan kelihatanya saudara Imam Samudera ini sesungguhnya ingin bermanhaj atau merujuk kepada pemahaman Salafus Shalih yakni pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tapi sayang akibat emosi yang tidak didukung dengan ilmu maka menjerumuskan dia kepada berbagai penyimpangan-penyimpangan pemahaman yang demikian parah dan inilah sesungguhnya bukti bahwa dosa terbesar itu ialah ketika orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengan ilmunya atau orang yang beramal tetapi tidak didasarkan amalnya itu atas ilmu, wallahu a’lamu bis shawab.
sumber : www.alghoroba.org
[Bagian Keempat dari 4 Tulisan]
Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari bid’ah.
[Pertama, amalan bid'ah tertolak]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)
[Kedua, pelaku bid'ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid'ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su'ul khotimah]
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)
[Ketiga, pelaku bid'ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa'at beliau shallallahu 'alaihi wa sallam]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-
[Keempat, pelaku bid'ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid'ahnya diikuti orang lain]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh.
Marilah Bersatu di Atas Kebenaran
Saudaraku, kami menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Inilah sedikit pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,
عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ …
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya
Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di rumah tercinta, Desa Pangukan, Sleman
Saat Allah memberi nikmat hujan di siang hari, Kamis, 9 Syawal 1429 (bertepatan dengan 9 Oktober 2008)
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html
Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari bid’ah.
[Pertama, amalan bid'ah tertolak]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)
[Kedua, pelaku bid'ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid'ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su'ul khotimah]
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)
[Ketiga, pelaku bid'ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa'at beliau shallallahu 'alaihi wa sallam]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-
[Keempat, pelaku bid'ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid'ahnya diikuti orang lain]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh.
Marilah Bersatu di Atas Kebenaran
Saudaraku, kami menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Inilah sedikit pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,
عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ …
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya
Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di rumah tercinta, Desa Pangukan, Sleman
Saat Allah memberi nikmat hujan di siang hari, Kamis, 9 Syawal 1429 (bertepatan dengan 9 Oktober 2008)
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html
[Bagian Ketiga dari 4 Tulisan]
Sebelumnya kami telah menyampaikan sanggahan mengenai bid’ah hasanah yang dasarnya adalah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan beberapa alasan lain dalam membela bid’ah dan jawabannya.
[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah
Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.
Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.
Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ
“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)
Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.
[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-
[3] Yang Penting Kan Niatnya!
Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”
Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”
[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…
Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami…”
Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,
إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)
Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.
Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya.
[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini
Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan (atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”
Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi dengan amalan sebagian kelompok?
Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)
Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.
[6] Baca Al Qur’an kok dilarang?!
Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”
Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.
Bid’ah hakikiyah adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)
Di antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam syari’at.
Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)
Jadi bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Contohnya bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’ (disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi sunnah.
Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi.
Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.
Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?
Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus.
***
Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
Sebelumnya kami telah menyampaikan sanggahan mengenai bid’ah hasanah yang dasarnya adalah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan beberapa alasan lain dalam membela bid’ah dan jawabannya.
[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah
Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.
Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.
Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ
“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)
Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.
[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-
[3] Yang Penting Kan Niatnya!
Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”
Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”
[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…
Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami…”
Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,
إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)
Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.
Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya.
[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini
Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan (atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”
Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi dengan amalan sebagian kelompok?
Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)
Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.
[6] Baca Al Qur’an kok dilarang?!
Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”
Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.
Bid’ah hakikiyah adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)
Di antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam syari’at.
Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)
Jadi bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Contohnya bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’ (disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi sunnah.
Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi.
Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.
Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?
Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus.
***
Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
[Bagian Kedua dari 4 Tulisan]
Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ’sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’, ’setiap bid’ah adalah sesat’, dan ’setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 36)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).
Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ’sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’, ’setiap bid’ah adalah sesat’, dan ’setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 36)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).
Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
- Tidak dilakukan terus menerus.
- Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
- Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
- Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
Gambling in Nevada is bad for you | Dr.MD
BalasHapusThe 경산 출장마사지 state of Nevada has seen its casinos get stuck in the shadow of Nevada 평택 출장마사지 as the nation's first 광양 출장안마 casino 이천 출장마사지 resorts were Jul 8, 양주 출장안마 2020 · Uploaded by Gambling in Nevada